Sabtu, 11 Desember 2010

foto-foto unik

Minggu, 30 Mei 2010

makalah hukum ketenagakerjaan

BAB I
PENDAHULUAN



A. LATAR BELAKANG
Hubungan kerja adalah suatu hubungan antara seorang buruh/pekerja dengan majikan/pengusaha. Dalam hubungan kerja tersebut kedudukan kedua belah pihak adalah sejajar. Ada hak dan kewajiban pada pihak buruh/pekerja, dan ada hak dan kewajiban juga pada pihak majikan/pengusaha. Kewajiban buruh adalah hak pengusaha yaitu memperoleh tenaga kerja buruh untuk melakukan pekerjaan yang diusahakannya. Demikian sebaliknya, kewajiban pengusaha adalah hak bagi buruh yaitu memperoleh upah atas pekerjaan yang dilakukannya, mendapat jaminan sosial dalam menjalankan tugas yang menjadi pekerjaannya tersebut.
Dalam hubungan kerja, pekerja dan pengusaha saling mengikatkan diri dalam perjanjian kerja baik untuk melakukan satu atau beberapa pekerjaan tertentu. Pada saat pekerjaan tersebut selesai dikerjakan oleh buruh/pekerja, hal muncul adalah kewajiban pengusaha untuk membayar upah pada pekerja atas pekerjaan tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH
Upah merupakan hak mutlak pekerja setelah mereka selesai melakukan pekerjaan yang menjadi kewajibannya. Hal yang menjadi permasalah adalah bagaimana menetapkan besarnya upah untuk pekerja tersebut, apakah ditentukan sepihak oleh pengusaha (mengingat dalam kenyataan kedudukannya selalu lebih kuat dari buruh), apakah melalui kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja, atau ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini sebagai pengawas jalannya hubungan kerja tersebut. Masalah lainnya adalah bagaimana sebenarnya sistem pemberian upah yang semestinya yang sesuai dengan kebutuhan hidup layak (KHL), sehingga dalam hubungan antara pengusaha dan pekerja dalam perjanjian kerja tersebut dapat tercipta suatu kondisi kerja yang nyaman dan kondusif. Suatu kondisi dimana buruh yang memperoleh upah yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, namun juga disisi lain tidak memberatkan pengusaha.
Sebagai salah satu contoh adalah di daerah Yogyakarta, ada beberapa versi mengenai penentuan upah yang sesuai dengan kebutuhan hidup layak. Ada versi KHL dari buruh itu sendiri, versi KHL menurut pengusaha, dan versi KHL menurut Dewan Pengupahan. Hal inilah yang menjadi masalah dalam menentukan besarnya upah yang harus diberikan pengusaha kepada buruh/pekerja yang bekerja padanya.






BAB II
PEMBAHASAN



A. PENGERTIAN UPAH
Upah merupakan penggantian jasa yang harus diserahkan atau diberikan oleh seseorang kepada pihak lain yang telah memberikan jasanya. Upah dalam arti yuridis merupakan balas jasa yang merupakan pengeluaran-pengeluaran pihak pengusaha, yang diberikan kepada buruhnya atas penyerahan jasa-jasanya dalam waktu tertentu kepada pihak pengusaha
Upah yang diberikan kepada seseorang selain harus sebanding dengan kegiatan dan jasa yang telah dilakukan, selain itu seharusnya juga bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan hidup yang wajar. Pelaksanaan administrasi upah mengandung banyak kerumitan, karena upah yang telah ditetapkan oleh seorang pengusaha yang mungkin telah diperhitungkan sebijaksana mungkin dapat diterima oleh sebagian buruh dengan senang hati, tetapi ada pula yang menerimanya secara terpaksa.
Upah yang diberikan tersebut harus mampu menimbulkan motivasi kerja. Pada beberapa perusahaan besar sering diterapkan tambahan pendapatan diluar upah seperti adanya bonus, keuntungan-keuntungan sosial lainnya, tunjangan-tunjangan fungsional dan lainnya.

B. UPAH MINIMUM (MINIMUM WAGES)
Pendapatan yang dihasilkan oleh para pekerja dalam suatu perusahaan sangat berperan dalam hubungan ketenagakerjaan. Seorang pekerja adalah seorang manusia dan jika ditinjau dari segi kemanusiaan, sewajarnya seorang pekerja mendapatkan penghargaan yang wajar dan/atau perlindungan yang layak. Dalam hal ini, maka upah minimum sebaiknya dapat mencukupi kebutuhan hidup pekerja beserta keluarganya, walaupun dalam arti yang serba sederhana, cost living perlu diperhatikan dalam penentuan upah.
Pemerintah mengatur pengupahan melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER 05/MEN/1989 tanggal 29 Mei 1989 tentang upah minimum. Dalam peraturan menteri ini, upah minimum dibagi dalam 3 kriteria, yaitu upah minimum regional, upah minimum sektor regional, dan upah minimum subsektor regional. Dalam perkembangannya, upah minimum dibagi menjadi 2 kriteria yaitu upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK). Upah minimum kabupaten/kota ini ditetapkan setahun sekali dengan SK gubernur.
Penetapan upah minimum antara lain dimaksudkan untuk :
1. menjamin agar pekerja/buruh menerima pada waktu dan tempat tertentu upah yang dianggap layak;
2. menghapuskan eksploitasi;
3. memelihara daya beli;
4. menghapus persaingan yang tidak jujut;
5. menjamin pembayaran yagn sama untuk pekerjaan yang sama;
6. pencegahan konflik industrial;
7. mendukung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Berbeda dengan penetapan upah minimum provinsi tahun lalu yang berdasarkan kebutuhan hidup minimum (KHM), mulai tahun 2006 penetapan UMP didasarkan atas kebutuhan hidup layak (KHL). Pengertian KHL adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, nonfisik, dan sosial untuk kebutuhan selama satu bulan. Selain KHL, faktor lain yang dipakai dalam penentuan UMP adalah kemampuan perusahaan, perkembangan ekonomi daerah/nasional, serta kesempatan kerja.




C. PENETAPAN UPAH DI YOGYAKARTA BERDASARKAN VERSI KHL BURUH, PENGUSAHA, DAN DEWAN PENGUPAHAN.
Upah biasanya ditetapkan oleh kedua pihak antara pengusaha dengan pekerja dalam perjanjian kerja, dalam peraturan perusahaan, ataupun dalam peraturan pengupahan. Dalam pemberian upah tersebut hal yang hars diperhatikan adalah ketentuan UMK, UMR, dan UMP.
Upah Minimum Provinsi (UMP) tiap daerah akan berbeda satu sama lain. Hal ini tergantung pada kondisi daerah tersebut. Di Yogyakarta penentuan dan pemenuhan UMP masih menghadapi kendala. Dalam hal pemenuhan UMP, idealnya sesuai dengan KHL, namun di Yogyakarta masih menghadapi kendala-kendala teknis maupun nonteknis. Kendala teknis adalah kondisi perusahaan yang belum mampu memenuhi ketentuan upah sesuai UMP. Secara internal, pengusaha di DIY adalah pengusaha UKM, yang tentunya mempunyai banyak keterbatasan. Faktor nonteknis adalah keadaan DIY yang beberapa saat yang lalu mengalami musibah gempa bumi. Faktor nonteknis tersebut mempengaruhi sebagian besar pengusaha di DIY terutama dalam hal alat-alat produksi. Kondisi perekonomian di DIY juga belum pulih sepenuhnya, masih memerlukan waktu.
Penentuan UMP masih menghadapi kendala. UMP tersebut seharusnya sesuai dengan KHL, atau kalaupun tidak persis sama, namun tetap mendekati KHL, minimal 90%. Dalam penentuan KHL kendala yang dihadapi adalah ada beberapa versi KHL yang ditemukan. Antara buruh, pengusaha, dan Dewan Pengupahan mempunyai versi masing-masing. Jalan keluar untuk mengatasi masalah ini adalah perlu adanya perundingan untuk mencari titik tengah penentuan KHL. Baik dari sudut pandang pekerja maupun pengusaha. Hal ini untuk memperoleh KHL yang proporsional baik dari sudut pekerja menilik pada kebutuhan hidupnya sehari-hari, maupun sudut pandang pengusaha dengan aset dan kemampuan yang dimiliki.


.

BAB III
PENUTUP



A. SIMPULAN
Besarnya UMP yang diberikan pada pekerja idealnya sesuai dengan KHL. Namun paling tidak upah yang diberikan pada pekerja adalah 90% dari KHL sehingga kehidupan kaum pekerja dapat lebih baik.
Perbedaan versi KHL yang ada di DIY perlu dirundingkan antara pekerja dan pengusaha serta Dewan Pengupahan agar kepentingan tiap pihak dapat terakomodasi.

B. SARAN
- penentuan KHL untuk menetapkan UMP harus adil baik bagi pekerja maupun pengusaha;
- untuk UMP yang saat ini belum mampu memenuhi KHL, sebaiknya diberikan pentahapan yang jelas untuk masa-masa yang akan datang, agar dapat sesuai dengan KHL.




DAFTAR PUSTAKA



Asikin, Zaenal dkk.1993.Dasar-dasar Hukum Perburuhan.Jakarta:PT RajaGrafindo Persada
Soepomo, Imam.1987.Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja. Jakarta: Djambatan

makalah kriminalistik

PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Apakah yang dimaksud dengan Kriminalistik? Pertanyaan itu tentu akan muncul ketika kita menyaksikan berita kriminal di televisi, atau media lainnya. Istilah Kriminalistik bagi orang-orang pada umumnya tidak asing mendengar istilah tersebut. Lalu sebenarnya apakah yang dimaksud dari Kriminalistik tersebut, berikut ini adalah beberapa definisi dari Kriminalistik yang diperoleh oleh penyusun (dalam buku R. Soesilo dan M. Karjadi “Kriminalistik”) :
1. Kriminalistik adalah ilmu pengetahuan untuk menetukan terjadinya kejahatan dan menyidik pembuatnya dengan mempergunakan cara ilmu pengetahuan alam, dengan mengesampingkan cara-cara lainnya yang dipergunakan oleh ilmu kedokteran kehakiman (sekarang ilmu kedokteran forensik), ilmu racun kehakiman (sekarang toksikologi forensik) dan ilmu penyakit jiwa kehakiman (ilmu psikologi forensik). (dari buku “Dasar-dasar pokok penyidikan kejahatan”)
2. Kriminalistik adalah suatu pengetahuan yang berusaha untuk menyelidiki/ mengusut kejahatan dalam arti seluas-luasnya, berdasarkan bukti-bukti dan keterangan-keterangan dengan menggunakan hasil yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan lainnya. ( dari buku ”Kriminalistik” R. Dedeng Suriaiputra).
3. Kriminalistik adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah teknik sebagai alat untuk mengadakan pengejaran atau penyididkan perkara kejahatan secara teknis dengan mempergunakan ilmu-ilmu alam, kimia dan lain-lain seperti ilmu kedokteran kehakiman, ilmu alam kehakiman antaralain ilmu sidik jari dan ilmu kimia kehakiman seperti ilmu tentang keracunan dan lain-lain. (dari buku “Criminologie een inleiding”. Prof. Noach)
Dari beberapa pengertian di atas sangatlah jelas bahwasanya terdapat perbedaan pendapat mengenai pengertian Kriminalistik. Perbedaan pendapat mengenai pengertian tersebut terjadi karena beberapa faktor misalnya perbedaan latar belakang kehidupan dan pendidikan; kriminalistik ilmu yang masih muda (R. Soesilo dan M.Karjadi).
Ilmu-ilmu pengetahuan yang dipakai untuk pengungkapan suatu perkara pidana menggunakan ilmu-ilmu bantu tersebut seperti :
a. Ilmu Daktiloskopi; yakni ilmu yang berkaitan dengan sidik jari manusia
b. Sinyalemen; yakni ilmu tentang ciri-ciri manusia
c. Ilmu kedokteran forensik; yakni ilmu kedoteran yang bermanfaat untuk kepentingan Pengadilan.
d. Toksikologi forensik; yakni ilmu yang menerangkan tentang racun untuk kepentingan Pengadilan

Didalam KUHAP secara implisit telah diatur mengenai alat-alat bukti yang sah. Berdasarkan penjelasan di atas, maka tampak jelas bahwa didalam pengungkapan suatu perkara pidana memerlukan ilmu bantu lain. Salah satu alat bukti yang sah berdasarkan ketentuan KUHAP adalah Keterangan Ahli. Olehkarena itu penyusun makalah menganggap perlu untuk membahas mengenai keterangan ahli.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana keterangan ahli ditinjau dari hukum acara pidana di Pengadilan?
2. Bagaimana kekuatan pembuktian keterangan ahli?




BAB II
PEMBAHASAN


A. KETERANGAN AHLI DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA DI PENGADILAN
Alat- alat bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebutkan alat bukti yang sah adalah:
a. Keterangan saksi
b. keterangan ahli
c. surat
d. petunjuk
e. keterangan terdakwa.
Dari kelima macam alat bukti tersebut, yang perlu diterangkan adalah alat bukti yang berupa keterangan ahli.

Di dalam ilmu kedokteran forensik dikenal bukti-bukti selain saksi hidup juga bukti-bukti fisik. Untuk mengetahui dan mempelajari hubungan antara bukti fisik dengan suatu kasus tindak pidana, diperlukan ahli (pakar dalam bidang tersebut). Untuk memeriksa dan mengetahui, meneliti, menganalisis dan mempelajari serta mengungkapkan harta benda/bukti fisik tersebut diperlukan ilmu pengetahuan kehakiman atau ilmu kedokteran kehakiman. Bukti yang dapat diperiksa dengan ilmu-ilmu pengetahuan tersebut atas benda fisik, ini lazim disebut saksi diam. Saksi diam ini terdiri atas benda atau bagian/luka/tubuh manusia yang hidup atau telah meninggal, senjata atau alat (benda) untuk melakukan kejahatan, jejak atau bekas-bekas si pelaku, benda-benda yang terbawa atau tertinggal atau disimpan, dialihkan, dipakai oleh sipelaku dan lain-lain.
Sebenarnya bukti fisik itu sebenarnya berbicara banyak, hanya saja bahasanya sendiri, sehingga tidak dapat dimengerti oleh orang awam. Oleh karenanya diperlukan seorang penerjemah yakni sorang ilmuwan yang telah melakukan pemeriksaan dengan ilmu pengetahuan yang dimiliknya dapat menangkap bahasa dari bukti fisik tersebut dan menerjemahkannya, sehingga dapar dimengerti oleh orang-orang yang berkepentingan yaitu hakim, jaksa, polisi, penasihat hukum, terdakwa sendiri. Dan penerjemah ini lazim disebut “Saksi Ahli” ( Skilled witness,expert witness).
Dimuka persidangan saksi ahli dimaksudkan sebagai ilmuwan yang melakukan pemeriksaan dan mengemukakan pendapat (kesimpulan) tentang bekas fisik tersebut. Oleh karena itu ada pula ilmuwan yang tidak melakukan pemeriksaan, akan tetapi hanya didengar pendapatnya saja. Oleh karena itu untuk istilah ahli sebenarnya dapat dibagi dalam 3 macam ahli yang biasa terlibat dalam suatu proses peradilan. Mereka adalah :
1. AHLI ( Deskundige)
Orang ini hanya mengemukakan pendapatnya tentang suatu persoalan yang ditanyakan kepadanya, tanpa melakukan suatu pemeriksaan. Contohnya adalah dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan, yang diminta pendapatnya tentang obat A (yang dipersoalkan dapat menimbulkan abortus atau tidaknya)
2. SAKSI AHLI ( Getuiege deskundige)
Orang ini menyaksikan barang bukti atau bekas fisik, melakukan pemeriksaan dan mengemukakan pendapatnya. Misal dokter yang melakukan pmeriksaan mayat.
3. ZAAKKUNDIGE
Orang ini menerangkan tentang sesuatu persoalan yang sebenarnya dapat dipelajari sendiri oleh hakim, tetapi akan memakan banyak waktu. Misal seorang pegawai Bea dan cukai diminta menerangkan prosedur pengeluaran barang dari pelabuhan. Tanpa orang ini mengemukakan pendapatnya, hakim sendiri sudah dapat menentukan apakah telah terjadi suatu tindak pidana atau tidak. Karena hakim dapat dengan mudah mencocokan apakah dalam kasus yang diperiksa ini telah terjadi penyimpangan prosedur yang sebenarnya atau tidak.
Penyidik di dalam tahap penyidikan dapat meminta keterangan ahli. Hal ini berdasarkan pada Pasal 120 KUHAP. Ahli atau pakar didalam Pasal 1 butir 28 KUHAP sudah dirumuskan secara umum tetapi dari Pasal 120 ayat (1) dibedakan lagi antara orang ahli dan orang yang memiliki keahlian khusus (dimana pembedaan tersebut bermakna sama).
Selanjutnya pula di dalam penjelasan Pasal 133ayat (2) KUHAP bahwa keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut Keterangan (dan seumpama tidak ada dokter ahli forensik maka hakim dapat meminta keterangan dokter bukan ahli di dalam sidang, sekalipun bukan sebagai keterangan ahli tetapi dapat dipakai sebagai alat bukti sah sebagai ”keterangan saksi.”

B. KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN AHLI.
Keterangan orang ahli kedoteran kehakiman, dokter bukan ahli kedokteran kehakiman atau ahli lainnya dapat berupa :
a. Keterangan Ahli; yaitu dalam suatu bentuk “laporan” oleh dokter ahli kedokteran kehakiman atau ahli lainnya sesuai dengan Pasal 1 butir 28 KUHAP, tentang sesuatu hal atau suatu pokok soal.
b. Keterangan Ahli; oleh dokter ahli kedokteran kehakiman atau dokter lain, dalam bentuk Visum et Repertum
c. Keterangan; yaitu keterangan oleh doter, bukan ahli kedokteran kehakiman dilakukan secara tertulis/ laporan.

Di dalam ketentuan Pasal 180 ayat (1) KUHAP ditentukan, dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang Pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta dengan diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
Ahli yang telah mengutarakan pendapatnya tentang suatu hal atau keadaan/ peristiwa dari suatu perkara tertentu itu, dapat dipakai sebagai kejelasan dan dasar-dasar bagi hakim untuk menambah keyakinannya. Akan tetapi hakim dengan demikian tidak wajib untuk menuruti pendapat dari ahli itu bilamana pendapat dari ahli itu bertentangan dengan keyakinan hakim sendiri. Bilamana hakim tidak setuju atau tidak sependapat dengan apa yang menjadi pendapat ahli tersebut, maka hakim wajib mempertimbangkan di dalam putusannya, mengapa ia tidak setuju disertai alasan-alasannya.
Bagi pengadilan, bantuan orang ahli itu bersama-sama alat-alat bukti lainnya nanti akan berangkai bersesuain satu dengan yang lainnya dan bermanfaat bagi terbuktinya pemenuhan unsur-unsur tindak pidana itu.
Dari uraian di atas dapat dikatakan, bahwa sebenarnya nilai atau penghargaan atas suatu alat bukti keterangan ahli dalam hubungannya dengan aturan pembuktian dalam Hukum acara Pidana sebagai alat bukti sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah mengikat, tetapi di dalam praktik nilai atau penghargaan dan kekuatan pembuktian diserahkan kepada hakim (majelis hakim), disertai alasan dan pertimbangan dalam putusannya.






BAB III
PENUTUP


SIMPULAN
1. Sebenarnya bukti fisik dapat berbicara banyak dalam mengungkap suatu perkara pidana. Hanya saja diperlukan ’penerjemah’, yakni seorang ilmuwan/ahli untuk menerjemahkan bukti fisik tersebut. Dan di dalam sistem Hukum acara Pidana kita, keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184 ayat(1) KUHAP.
2. Pada dasarnya kekuatan pembuktian dari alat buki keterangan saksi ahli adalah mengikat, akan tetapi di dalam prakteknya sepenuhnya diserahkan kepada hakim.







Daftar Pustaka


Soesilo, Karjadi M. 1989. Kriminalistik. Bogor : Politeia


Soeparmono. 2002. Keterangan Ahli & Visum Et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana. Semarang : CV Mandar Maju

Selasa, 18 Mei 2010

makalah etika profesi jaksa

BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Berbicara mengenai lembaga kejaksaan adalah berbicara mengenai lembaga negara yang bertugas untuk mewakili negara dalam menegakkan hukum khususnya dalam bidang peradilan. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya kejaksaan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan, dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam tugas dan kewajiban yang sangat luas dan kompleks ini, kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara turut menciptakan kondisi dan prasarana yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintahan dan negara serta melindungi kepentingan rakyat melalui penegakan hukum

B. RUMUSAN MASALAH
Secara normatif (das solen) tugas dan kewajiban kejaksaan dapat dikatakan hal yang semurna, mencakup hal yang cukup luas. Kejaksaan atau khususnya jaksa mempunyai kedudukan sebagai wakil negara dalam bidang peradilan. Tugas mewakili negara adalah hal yang sangat penting terutama kaitannya dengan kewibawaan negara serta dengan hukum itu sendiri. Akan sangat maju dan baik peradilan di Indonesia jika tugas dan kewajiban dari lembaga kejaksaan itu dilaksanakan dengan baik, dalam artian tetap menjaga idealisme lembaga kejaksaan sebagai penegak keadilan walaupun berhadapan dengan realita kehidupan.
Dalam kenyataan (das sein) citra lembaga kejaksaan tidak sebaik dan seindah tugas dan kewajibannya yang sangat ideal. Mafia peradilan, itulah istilah yang kini cukup populer dibicarakan di masyarakat. Bagaimana tidak, lembaga kejaksaan yang harusnya menegakkan hukum justru menggunakan hukum sebagai lahan usaha. Nilai-nilai keluhuran hukum tidak lagi dijunjung tinggi. Dalam menangani suatu kasus di peradilan tidak jarang aparat penegak hukum dalam hal ini hakim, jaksa, dan penasihat hukum “main mata.” Hukum pun dipermainkan untuk kepentingan mereka sendiri. Masyarakat yang tidak tahu tentang aturan hukum pun mudah untuk dipermainkan. Sistem peradilan menjadi jauh dari asas-asas peradilan. Biaya menjadi membengkak, waktu lama, dan bertele-tele. Kurang uang hukuman panjang. Itulah istilah yang juga cukup populer. Menggambarkan betap hukum itu dijadikan komoditas lahan usaha untuk aparat penegak hukum.
Lalu bagaimana seharusnya etika dan moralitas aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum dan menjaga idealisme profesi mereka? Bahasan kali ini dibatasi pada jaksa yang mempunyai peran sebagai wakil negara.
1. Apakah etika dan etika profesi?
2. Sejarah profesi jaksa?
3. Bagaimana jaksa tetap menjaga idealisme Profesi?












BAB II
PEMBAHASAN


A. ETIKA DAN ETIKA PROFESI

Etika berasal dari kata Yunani “ethos” yang berarti sifat (sifat pribadi) menjadi orang baik. Ethos diartikan sebagai kesusilaan, perasaan batin atau kecenderungan hati seseorang untuk berbuat kebaikan. Dengan etika, seseorang dapat menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Etika akan memberi semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya.
Secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika kemudian dirupakan dalam bentuk aturan tertulis yang secara sistematis sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada, dan pada saat dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika rasional umum dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control,” karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial/profesi itu sendiri. Selanjutnya, karena kelompok profesional merupakan kelompok yang berkeahlian dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas dan berstandar tinggi, yang dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannnya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri.


B. PROFESI JAKSA

Profesi jaksa sudah ada dan dikenal sejak lama sebelum Indonesia merdeka, bahkan sebelum ada negara Indonesia. Pada masa Kerajaan Majapahit, jaksa dikenal dengan ilstilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa. Dhyaksa dikatakan sebagai pejabat negara yang dibebani tugas untuk menangani masalah-masalah peradilan di bawah pengawasan Majapahit. Gajah Mada selaku pejabat adhyaksa, sedangkan dharmadhyaksa berperan sebagai pengawas tertinggi dari kekayaan suci dalam urusan kepercayaan, dan menjabat sebagai ketua pengadilan. Kata dhyaksa ini kemudian menjadi jaksa.
Setelah Indonesia merdeka, lembaga jaksa tetap dipertahankan, yakni dengan mengambil alih peraturan yang pernah berlaku pada masa penjajahan Jepang.
Jaksa adalah pejabat fungsional dari lembaga pemerintahan, berbeda dengan hakim, pengangkatan dan pemberhentian jaksa tidak dilakukan oleh kepala negara, tetapi oleh jaksa agung sebagai atasannya.
Agar kejaksaan dapat mengemban kewajibannya dengan baik, maka berdasarkan Keputusan Jaksa Agung No. Kep-052/J.A/8/1979 ditetapkan pula tentang Doktrin Adhyaksa Tri Krama Adhyaksa. Doktrin tersebut berunsurkan Catur Asana, Tri Atmaka, dan Tri Krama Adhyaksa.
Catur Asana merupakan empat landasan yang mendasari eksistensi, peranan, wewenang, dan tindakan kejaksaan dalam mengemban tugasnya baik di bidang yustisial, nonyustisial, yudikatif, maupun eksekutif. Landasan idiilnya adalah Pancasila, landasan konstitusionalnya adalah UUD 1945, dan landasan peraturan perudangan yang lainnya.
Tri Atmaka merupakan tiga sifat hakiki kejaksaan yang membedakan dengan alat negara lainnya. Tiga sifat itu adalah tunggal, mandiri, dan mumpuni. Bersifat tunggal karena kejaksaan adalah satu-satunya lembaga negara yang mewakili pemerintah dalam urusan pengadilan dan dengan sistem hierarki tindakan setiap jaksa dianggap sebagai tindakan seluruh korps. Dikatakan mandiri karena kejaksaan merupakan lembaga yang berdiri sendiri terlepas dari Departemen Kehakiman, dan mandiri dalam arti memiliki kekuasaan istimewa sebagai alat penegak hukum yang mewakili pemerintah dalam bidang yudikatif, satu-satunya aparat yang berwenang mengenyampingkan perkara, menuntut tindak pidana di pengadilan, dan berwenang melaksanakan putusan pengadilan. Kekhususan ini merupakan ciri khas lembaga kejaksaan yang membedakan dirinya dari lembaga atau badan penegak hukum lainnya. Mumpuni menunjukkan bahwa kejaksaan memiliki tugas luas, yang melingkupi bidang-bidang yustisial dan nonyustisial dengan dilengkapi kewenangan yang cukup dalam menunaikan tugasnya.
Tri Krama Adhyaksa adalah sikap mental yang baik dan terpuji yang harus dimiliki oleh jajaran kejaksaan, yang meliputi sifat satya, adi, dan wicaksana.


C. MENJAGA IDEALISME PROFESI JAKSA

Profesi jaksa adalah sebuah profesi dalam posisi yang sangat penting dalam penegakan hukum di peradilan. Lembaga kejaksaan secara umum dan jaksa secara khusus adalah lembaga independen yang mewakili pemerintah dalam hal peradilan. Kedudukan ini membuat banyak sorotan terhadap kinerja jaksa dalam menjalankan profesinya.
Posisi jaksa sangat riskan menghadapi tantangan baik dari internal maupun tantangan eksternal. Jaksa mudah saja memanfaatkan posisinya untuk mencari keuntungan pribadi. Ini adalah tantangan eksternal, yang berasal dari luar diri jaksa dimana pihak-pihak yang sedang dalam perkara dalam peradilan meminta jaksa agar memberi keringanan dalam tuntutan dengan memberi sejumlah imbalan/hadiah. Tantangan internal adalah sikap moral, hati nurani, dan perasaan yang dimiliki jaksa. Seorang jaksa yang tidak memiliki moral dan hati nurani yang baik akan mudah terpengaruh untuk memanfaatkan kondisi tersebut. Sebagai contoh nyata adalah terungkapnya dugaan penyuapan yang diterima Jaksa Urip Tri Gunawan yang sedang menangani kasus BLBI. Kasus ini seolah mengungkap betapa carut-marutnya lembaga kejaksaan dan jaksa yang ada di dalamnya. Betapa tidak, kedudukan jaksa dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi, bukannya menjaga wibawa negara dan menegakkan nilai-nilai keadilan.
Menjaga idealisme dan etika profesi jaksa berkaitan dengan moral dan hati nurani seorang jaksa. Peraturan hukum dan undang-undang yang ada hanya sebagai jalur dan rambu-rambu untuk jaksa dalam melaksanakan tugasnya. Sebagus apapun peraturan, saat diri pribadi jaksa tidak mempunyai kesadaran yang tinggi untuk menegakkan nilai-nilai hukum. Sebaliknya, dengan peraturan yang tidak terlalu banyak namun ada moral dan hati nurani yang baik, peraturan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik pula. Nilai-nilai hukum dapat ditegakkan dan dijunjung tinggi.























BAB III
PENUTUP


SIMPULAN

Etika adalah suatu sifat kepribadian, perasaan batin seseorang untuk dapat menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Etika akan memberi semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Dalam perkembangannya dikenal etika profesi. Etika profesi adalah etika yang dinormakan dan dipakai suatu kelompok profesi tertentu yang menjadi nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi oleh kelompok profesi tersebut.
Profesi jaksa adalah profesi yang sangat mulia, mewakili negara dalam penegakan hukum dalam peradilan. Posisi ini sangat penting sekaligus rawan berbagai penyimpangan. Betapa berat tantangan yang harus dihadapi jaksa diantara idealisme dan realita. Sikap moral dan hati nurani sangat penting bagi jaksa dalam menjalankan tugas profesinya. Sebaik apapun aturan yang mengatur jaksa, tidak akan banyak berarti saat tidak ada kesadaran jaksa untuk menjalankan aturan tersebut. Jawaban permasalahan yang melanda jaksa adalah dengan merealisasikan idealisme profesi jaksa sebagai penegak hukum dalam keadaan apapun. “Meskipun langit runtuh, hukum harus tetap ditegakkan.” Sekiranya para jaksa tetap mampu dan terus berusaha untuk merealisasikan kata-kata tersebut.








DAFTAR PUSTAKA



Kansil, C.S.T. 1996. Pokok-pokok Etika Profesi Hukum. Jakarta : PT Pradnya Paramita
Sungguh, As’ad. 2000. Etika Profesi. Jakarta : Sinar Grafika

makalah etika profesi hukum

BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG

Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menuntut adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, Undang-undang Dasar juga menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam usaha mewujudkan prinsip tersebut dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting disamping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa, dan hakim.
Kemandirian dan kebebasan yang dimiliki oleh profesi advokat harus diikuti oleh adanya tanggung jawab dari masing-masing advokat dan organisasi profesi yang menaunginya. Sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, bahwa organisasi advokat wajib menyusun kode etik advokat untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi advokat sebagai profesi yang terhormat dan mulia (officium mobile), sehingga setiap advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik tersebut.
Dalam pembukaannya, Kode Etik Advokat Indonesia menyatakan bahwa kode etik tersebut sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi advokat, yang menjamin dan melindungi namun juga membebankan kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur dan bertanggun jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara, atau masyarakat, dan terutama kepada dirinya sendiri. Dan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik tersebut, maka organisasi advokat membentuk suatu dewan kehormatan yang juga berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh advokat.


B. RUMUSAN MASALAH

Bagaimanakah penegakan Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) terkait pada pelanggaran-pelanggaran terhadap kode etik tersebut?























BAB II
PEMBAHASAN


A. KASUS

Sebuah kasus pelanggaran KEAI diajukan oleh Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) kepada Dewan Kehormatan Daerah Perhimpunan Advokat Indonesia (DKD PERADI) Jakarta. KASUM mengadukan M. Assegaf dan Wirawan Adnan yang tergabung dalam tim kuasa hukum Pollycarpus Budiharto atas dugaan pelanggaran KEAI. Keduanya dianggap telah melanggar ketentuan Pasal 7 huruf (e) KEAI.
Ketentuan dalam Pasal 7 huruf (e) KEAI mengatur bahwa advokat tidak dibenarkan mengajari dan/atau mempengaruhi saksi-saksi yang diajukan oleh pihak lawan dalam perkara perdata atau oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara pidana. Dalam kasus ini, keduanya dianggap telah mempengaruhi saksi dengan mengirimkan surat klarifikasi kepada Badan Intelijen Negara (BIN). Selain itu, mundurnya kedua pengacara senior tersebut dari tim penasihat hukum Indra Setiawan juga dianggap melanggar kode etik. Kemudian setelah melakukan pemeriksaan atas aduan tersebut, berjalan selama kurang lebih 6 bulan, pada hari Jumat 14 Maret 2007 DKD PERADI menjatuhkan putusan.
Dalam putusan tersebut, Majelis Kehormatan yang dipimpin oleh Alex R. Wangge ini menghukum M. Assegaf dan Wirawan Adnan dengan pemberian peringatan keras karena sifat pelanggarannya berat. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 16 angka 2 huruf (b) tentang saksi-saksi atas pelanggaran KEAI. Majelis Kehormatan juga menyatakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa tuduhan tentang adanya upaya untuk mempengaruhi saksi telah terpenuhi meskipun pihak teradu yakni M. Assegaf dan Wirawan Adnan mendalilkan bahwa mereka tidak pernah berhubungan dengan saksi baik di luar maupun pada saat persidangan. Namun, secara tidak langsung, surat yang disampaikan kepada Kepala BIN itu telah mempengaruhi saksi yang mengaku berasal dari BIN.
Sedangkan mengenai tuduhan yang kedua tentang pengunduran diri para teradu dari tim kuasa hukum Indra Setiawan, Majelis Kehormatan tidak sependapat dengan KASUM yang menyatakan bahwa hal tersebut telah melanggar Pasal 4 huruf (i) KEAI, yakni advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkutan. Menurut Majelis Kehormatan, tuduhan tersebut tidak terbukti dan bahkan dibenarkan karena pengunduran diri tersebut dilakukan untuk menghindari pelanggaran terhadap kode etik mengenai pertentangan kepentingan yang diatur dalam Pasal 4 huruf (i) KEAI, yakni advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila di kemudian hari timbul pertentangan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam perkara ini, Majelis Kehormatan membenarkan alasan yang dikemukakan oleh teradu, karena konflik kepentingan dapat saja terjadi jika M. Assegaf dan Wirawan Adnan tetap menjadi kuasa hukum Indra Setiawan, dimana pada satu posisi keterangan Indra Setiawan yang mengaku menerima surat dari wakil kepala BIN untuk menugaskan Pollycarpus dianggap dapat merugikan kepentingan Pollycarpus, sementara itu disisi lain M. Assegaf dan Wirawan Adnan juga sedang memperjuangkan nasib Pollycarpus di tingkat peninjauan kembali.


B. ANALISIS KASUS

Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang profesi Advokat adalah salah satu peraturan perundang-undangan yang lahir setelah amandemen UUD 1945. Dengan berlakunya undang-undang ini adalah peristiwa terpenting di dalam sistem penegakan hukum di Indonesia, dimana telah terjadi suatu lompatan besar yang jauh kedepan dalam sejarah profesi Advokat. Berdasarkan Undang-Undang ini, profesi advokat semakin diakui eksistensinya sebagai penegak hukum sejajar dengan profesi penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa dan hakim.
Undang-undang No. 18 Tahun 2003 secara umum mengatur mengenai advokat. Secara khusus ada ketentuan yang mengatur untuk dibentuk suatu kode etik profesi yang terkait dengan keluhuran dan kehormatan martabat profesi advokat. Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) mengatur bagaimana seorang advokat bertindak dalam menjalankan profesinya selain berdasar pada undang-undang advokat. KEAI mempunyai sifat yang kuat karena berdasar dari dan merupakan amanat Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Terkait dengan aduan KASUM kepada DKD PERADI tentang tindakan M. Assegaf dan Wirawan Adnan, putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Kehormatan yaitu peringatan keras karena sifat pelanggarannya berat cukup tepat. Tindakan kedua advokat tersebut yang mengirimkan surat klarifikasi kepada kepala BIN telah melanggar ketentuan Pasal 7 huruf (e) KEAI karena telah mempengaruhi saksi dari pihak lawan atau JPU. Meskipun mereka berdalih bahwa mereka tidak pernah berhubungan secara langsung dengan saksi. Namun, adanya surat klarifikasi tersebut telah mempengaruhi saksi walaupun pengaruh tersebut tidak secara langsung. Sanksi atas pelanggaran tersebut diberikan sesuai dengan ketentuan Pasal 16 angka 2 huruf (b) yakni peringatan keras karena sifat pelanggarannya berat.
Untuk tuduhan kedua yang diajukan KASUM, tindakan pengunduran diri M. Assegaf dan Wirawan Adnan tidak melanggar pasal 4 huruf (i) KEAI. Pihak KASUM menganggap kedua advokat itu berusaha melepaskan diri dari tanggung jawabnya pada saat klien berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan mungkin dapat mengalami kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi. Alasan Majelis Kehormatan cukup berdasar yaitu advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari hubungan dengan kliennya (ketentuan Pasal 4 huruf (i) KEAI). Kepentingan bersama pihak tersebut adalah kepentingan antara Indra Setiawan dan Pollycarpus. Jika kedua advokat tersebut masih menjadi kuasa hukum Indra, segala urusan mengenai kesaksian dapat merugikan Pollycarpus yang juga merupakan klien mereka. Sementara itu di lain pihak mereka juga sedang memperjuangkan Pollycarpus dalam upaya peninjauan kembali.
Putusan Majelis Kehormatan mengikat advokat yang merupakan anggota dari ikatan profesi advokat tersebut. Hal ini sejalan dengan ketentuan Undang-undang No. 18 Tahun 2003 yang menentukan adanya suatu kode etik untuk dipatuhi dan ditaati yaitu Kode Etik Advokat Indonesia. KEAI ini dinyatakan berlaku bagi setiap orang yang menjalankan profesi advokat di Indonesia tanpa terkecuali.























BAB II
PENUTUP


SIMPULAN

Kode Etik Advokat Indonesia merupakan suatu kode etika yang dibuat oleh organisi advokat yang ada di Indonesia atas prakarsa Komite Kerja Advokat Indonesia. KEAI ini dibentuk berdasar amanat dari Undang-undang No. 18 Tahun 2003 yang menentukan dibentuknya suatu kode etik bagi advokat dalam menjalankan profesi dan tugas sebagai advokat. KEAI ini berlaku bagi setiap orang yang menjalankan profesi advokat di Indonesia tanpa terkecuali.
Pelaksanaan berjalannya KEAI dilakukan oleh suatu dewan kehormatan yang mempunyai tugas melakukan pengawasan pelaksanaan KEAI serta berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran kode etik yang dilakukan advokat. Atas pelanggaran terhadap KEAI, dapat dikenakan sanksi-sanksi yang diberikan oleh Majelis Dewan Kehormatan sesuai dengan jenis dan sifat pelanggaran.














DAFTAR PUSTAKA


Harahap, M. Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan Penuntutan Edisi Kedua. Jakarta : Sinar Grafika
K. Lubis, Suhrawandi. 2002. Etika Profesi Hukum. Jakarta : Sinar Grafika
Muhammad, Abdulkadir. 2001. Etika Profesi Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
Sungguh, As’ad. 2004. Etika Profesi. Jakarta : Sinar Grafika
Komite Kerja Advokat Indonesia. 2002. Kode Etik Advokat Indonesia. Jakarta : Komite Kerja Advokat Indonesia

makalah praperadilan dan bantuan hukum

BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Praperadilan merupakan kesatuan pada setiap pengadilan negeri sebagai kesatuan yang tidak terpisah.
Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan tentang :
a) Sah atau tidaknya upaya paksa (penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan);
b) Sah tidaknya upaya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
c) Memeriksa tuntutan ganti kerugian berdasarkan alasan penangkapan atau penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum; penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum; kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap, ditahan, atau diperiksa;
d) Memeriksa permintaan rehabilitasi.

B. RUMUSAN MASALAH
Berkaitan dengan wewenang lembaga praperadilan memeriksa dan memutus sah tidaknya upaya penghentian penyidikan atau penghentian perkara, harus dengan jelas dibedakan antara tindakan hukum penghentian penuntutan dengan pengenyampingan (deponering) perkara. Dalam penjelasan pasal 77 KUHAP telah ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang jaksa agung. Hal-hal yang akan menjadi pembahasan adalah :
1. Bagaimana perbedaan antara penghentian penuntutan dengan deponering?
2. Bagaimana upaya perlawanan pihak ketiga dalam praperadilan terkait dengan masalah deponering?
BAB II
PEMBAHASAN


A. DEPONERING (PENYAMPINGAN PERKARA)
Pada penyampingan perkara (deponering) demi kepentingan umum, pihak tersangka/terdakwa memang mempunyai cukup alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa di muka sidang pengadilan. Berdasar fakta dan bukti yang ada kemungkinan besar tersangka/terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Namun, perkara tersebut sengaja dikesampingkan dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh penuntut umum dengan alasan demi kepentingan umum. Kepentingan umum yang dimaksud adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.
Penyampingan perkara ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh jaksa agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Dalam penyampingan perkara, hukum dan penegakan hukum dikorbankan demi kepentingan umum. Seseorang yang cukup terbukti melakukan tindak pidana perkaranya dikesampingkan (dideponir) dan tidak diteruskan ke sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum. Asas oportunitas ini bertolak belakang dengan asas legalitas, dimana semua orang adalah berkedudukan sama di hadapan hukum.

B. PENGHENTIAN PENUNTUTAN
Pada penghentian penuntutan, suatu perkara dihentikan berdasar pada alasan dan kepentingan hukum. Landasan/dasar dihentikannya suatu penuntutan perkara adalah :
1. Perkara yang bersangkutan tidak mempunyai pembuktian yang cukup, sehingga jika tetap diajukan ada kemungkinan besar terdakwa akan dibebaskan. Untuk menghindari kemungkinan tersebut, penuntut umum menghentikan penuntutan.
2. Apa yang dituduh/didakwa kepada tersangka/terdakwa bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran. Dakwaan yang bukan merupakan tindak pidana kejatahan atau pelanggaran yang diajukan ke sidang pengadilan pada dasarnya hakim akan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan.
3. Perkara tersebut ditutup demi hukum. Penghentian perkara ini adalah tindak pidana yang terdakwa oleh hukum sendiri telah dibebaskan dari tuntutan atau dakwaan dan perkara itu sendiri oleh hukum harus ditutup atau dihentikan pemeriksaannya pada semua tingkat pemeriksaan. Alasan hukum yang menyebabkan suatu perkara ditutup demi hukum berdasar pada antara lain :
a. Karena tersangka/terdawa meninggal dunia
b. Atas alasan nebis in idem
c. Terhadap perkara yang hendak dituntut oleh penuntut umum ternyata telah kadalauwarsa

C. DEPONIR TIDAK TERMASUK DALAM RUANG LINGKUP PRAPERADILAN
Pada pertimbangan hukumnya, deponir adalah hak mutlak Jaksa Agung yang tidak dapat diadili oleh pengadilan. deponir adalah hak mutlak Jaksa Agung yang tidak bisa diadili oleh peradilan.
Deponir yang diatur dalam pasal 35 huruf c UU 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, merupakan kewenangan khusus yang dimiliki Jaksa Agung. “Kewenangan adalah suatu kebijakan, bukan tindakan hukum. Jadi pengadilan tidak berhak menilainya.”
Penggunaan deponir sendiri, merupakan penerapan asas oportunitas. Jaksa dalam proses penuntutan perkara pada prinsipnya terdapat dua asas. Yaitu asas legalitas, dimana jaksa harus menuntut setiap perkara berdasarkan peraturan yang berlaku. Dan asas oportunitas, dimana jaksa berjak menyampingkan perkara demi kepentingan umum.
Sedangkan mengenai apa saja yang termasuk ke dalam 'kepentingan umum’ tidak ada satupun peraturan hukum yang merincinya secara jelas. Sejauh ini hanya diatur dalam penjelasan Pasal 35 huruf c undang-undang kejaksaan (UU No 16 Tahun 2004) yang menyebutkan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara dan masyarakat. Jadi deponir tersebut benar-benar mutlak menjadi kewenangan jaksa agung.
Hingga saat ini belum ada batasan-batasan yang jelas mengenai kepentingan umum. Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan hanya mengatur secara global dan tidak konkret. Oleh karena itu, dalam praktik istilah “kepentingan umum” dalam deponir menjadi sangat relatif dan subjektif, yang sangat jelas merugikan para pencari keadilan.

D. PERLAWANAN PIHAK KETIGA
Deponir adalah kewenangan jaksa agung yang rawan dengan penyimpangan. Jaksa agung harus benar-benar dapat mempertanggungjawabkan kebijakan deponir kepada publik.
Dalam konteks Indonesia, Jaksa Agung merupakan bagian dari eksekutif, maka jaksa agung harus mampu mempertanggungjawabkannya kepada presiden. Apakah dalam pelaksanaannya penerbitan deponir sudah sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik atau tidak. Oleh karenanya, bagi jaksa agung yang tidak mampu mempertanggungjawabkan kebijakannya menggunakan deponir, harus siap menanggung sanksi politis seperti dicopot dari jabatannya.
Bagi pencari keadilan tidak perlu khawatir terhadap deponir. Ada jalan bagi pencari keadilan untuk melakukan “perlawanan.” Karena pada prinsipnya deponir adalah kebijakan jaksa agung, maka deponering di kemudian hari bisa dibatalkan oleh kebijakan lainnya dari jaksa agung. Selain itu, karena sifat kebijakan deponir yang final, individual dan konkret, maka deponir jaksa agung juga bisa digugat di peradilan tata usaha negara,”



BAB III
PENUTUP


KESIMPULAN
Pada penyampingan perkara, hukum dikorbankan demi kepentingan umum. Sedangkan, pada penghentian penuntutan berdasarkan pada alasan hukum dan demi tegaknya hukum. perbedaan lain adalah pada penghentian penuntutan, perkara yang bersangkutan umumnya masih dapat diajukan penuntutan kembali jika ternyata ditemukan alasan baru yang memungkinkan perkara dapat dilimpahkan ke sidang pengadilan. Sedangkan, pada penyampingan perkara tidak ada lagi alasan untuk mengajukan perkara itu kembali ke sidang pengadilan.
Penggunaan deponir oleh penuntut umum sangat rawan dengan penyimpanyan. Namun demikian, masih ada kemungkinan bagi pihak lain yang mencari keadilan melalui upaya “perlawanan pihak ketiga”
Masalah deponir ini harus diatur lebih tegas lagi terutama menyangkut kriteria perkara yang memang layak untuk dideponir. selain itu, kriteria tersebut harus bisa diuji publik sehingga bisa menjadi alat kontrol bagi publik untuk menghindari penyalahgunaan deponir.












DAFTAR PUSTAKA



Yahya Harahap, M. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta : Sinar Grafika
Yahya Harahap, M. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta : Sinar Grafika
http://anggara.org/2007/09/25/tentang-pra-peradilan/ diakses pada 26 Maret 2008
www.hukumonline.com diakses pada 26 Maret 2008

makalah hukum tata negra

BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia adalah sebuah negara yang sedang berkembang. Proses perkembangan ini dapat dilihat dari pembangunan di segala bidang. Berbagai bidang kehidupan mulai dari politik, sosial, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan bidang-bidang kehidupan lainnya. Diperlukan berbagai peraturan perundang-undangan untuk dapat membangun bidang-bidang kehidupan itu.
Salah satu masalah yang sangat menarik selain perekonomian dan politik, adalah masalah sosial. Permasalahan-permasalahan sosial misalnya tentang jumlah penduduk Indonesia yang begitu banyak. Banyaknya penduduk Indonesia tidak tersebar merata di seluruh Indonesia. Kebanyakan penduduk Indonesia terpusat di Pulau Jawa. Hal ini disebabkan karena Pulau Jawa adalah pusat jalannya pemerintahan Indonesia.
Banyaknya jumlah penduduk Indonesia sangat menguntungkan. Sumber daya manusia yang banyak memungkinkan potensi tenaga kerja yang banyak pula. Hal yang disayangkan adalah banyaknya tenaga kerja tanpa kemampuan dan keahlian yang cukup. Permasalahan ini menyebabkan tenaga kerja di Indonesia kurang diperhitungkan. Banyak tenaga kerja, namun keahlian terbatas. Muncul berbagai masalah, misalnya tenaga kerja tidak mendapat upah yang layak, tidak adanya asuransi keselamatan jiwa, hak-hak yang dibatasi, sampai mendapat perlakuan yang sewenang-wenang dari majikan.
Pembangunan peraturan ketenagakerjaan harus diatur dengan lebih baik. Peranan pemerintah harus lebih luas dalam menangani masalah ketenagakerjaan. Peranan pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan menyebabkan sifat Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan menjadi ganda, yaitu privat dan publik. Ruang lingkup peraturan ketenagakerjaan menjadi lebih luas, tidak hanya mengatur aspek hukum dalam hubungan kerja saja, tetapi juga meliputi aspek sebelum terjadi hubungan kerja (pra-employment), dan setelah hubungan kerja berakhir (post-employment). Hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja harus diatur dengan jelas sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan terhadap kaum pekerja.
Masalah tenaga kerja tidak hanya berkaitan dengan kepentingan tenaga kerja sebelum bekerja, selama bekerja, dan sesudah masa kerja, tetapi berkaitan erat dengan kepentingan pengusaha yang dalam hal ini berkedudukan sebagai majikan, pemerintah, dan masyarakat. Perlu ada peraturan yang menyeluruh dan komprehensif untuk dapat mengkomodir hubungan yang terjadi dalam hal ketenagakerjaan, yang mencakup peningkatan dan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja, upaya perluasan kesempatan kerja, pembinaan hubungan industri. Selain itu pemerintah juga harus membuat peraturan yang mampu memberikan hak-hak bagi tenaga kerja/pekerja/buruh dan hubungannya dengan kepentingan majikan. Harus ada perlindungan baik menyangkut keselamtan jiwa, kesehatan, upah yang layak, dan hal lainnya.

B. PERMASALAHAN/POKOK MASALAH

Beberapa waktu terakhir ini di Indonesia banyak terjadi unjuk rasa dan demo-demo dari para pekerja terhadap pemerintah mengenai UU Ketenagakerjaan. Para pekerja/buruh menilai UU tersebut tidak menguntungkan bagi mereka, terlalu memihak dan lebih menguntungkan majikan/pengusaha. Misalnya saja tentang upah minimum yang dirasakan oleh para pekerja/buruh belum layak untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari, kurangnya perlindungan/jaminan sosial baik jaminan keselamatan maupun kesehatan bagi para pekerja/buruh. Dalam kondisi semacam ini masing-masing pihak baik pengusaha, buruh, maupun pemerintah merupakan pihak yang saling berlawanan dan bermusuhan. Usaha yang semula hendak berlandaskan maksud dan tujuan baik dari semua pihak.
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN


A. KETENAGAKERJAAN PRA DAN PASCA REFORMASI

Berita tentang ekonomi, politik, kriminal setiap hari menghiasi halaman-halaman surat kabar, namun tak kalah penting ialah masalah ketenagakerjaan. meskipun hanya merupakan salah satu sub sistem dari sistem sosial ekonomi namun beritanya hampir setiap hari dimuat surat kabar dan selalu menarik untuk dibaca karena menyangkut kepentingan rakyat banyak, dimana lebih dari 50% penduduk Indonesia masuk dalam kategori angkatan kerja yang berusia 15 tahun ke atas dan sebagian besar di antaranya masuk kelompok usia kerja yang potensial untuk bekerja (labor force). Dari kelompok usia kerja yang potensial tersebut sebagian di antaranya masih menganggur. Ada yang secara aktif mencari pekerjaan, sementara kualitas SDM yang dimiliki rata-rata masih rendah. Hal ini menjadi beban dalam masyarakat yang apabila tidak segera ditanggulangi dapat menimbulkan keresahan sosial dan mengganggu pertumbuhan ekonomi, dimana tingkat pertumbuhan ekonomi sangat menentukan bagi terbukanya lapangan kerja, kelangsungan usaha, investasi dan kondisi Hubungan Industrial.


a. Ketenagakerjaan Pra-Reformasi

Dari pengalaman selama 30 tahun, semua pihak tahu kalau pemerintah kurang memberi kesempatan untuk semua pihak bergerak sesuai dengan hati nuraninya. Hal ini dilakukan untuk meredam gejolak yang akan mengganggu jalannya stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan.
Dasar awal yang berprinsip baik tadi semakin lama menjadi semakin kabur karena pada akhirnya dalam realitas menjelma menjadi kekuatan yang menekan demokrasi, kebebasan, dan keharmonisan masyarakat.
Upaya yang ditancapkan dalam prinsip hubungan industrial yang berdasar Pancasila hanya slogan belaka. Rumusan yang baik pada akhirnya menjadi sangat tidak bermanfaat karena tidak dapat ditemui dalam realitas. Istilah "pengusaha adalah mitra buruh" dan "buruh adalah mitra pengusaha" hanyalah samar-samar ditemui dalam pelaksanaannya.
Sistem satu organisasi buruh dan satu organisasi pengusaha ternyata mendatangkan kenyataan monopoli wewenang di segala bidang perburuhan yang mengakibatkan suara yang berbeda disingkirkan. Situasi ini menimbulkan tekanan terhadap kaum buruh maupun terhadap pengusaha, baik individual maupun kolektif dalam organisasinya.

b. Ketenagakerjaan Pasca-Reformasi

Memasuki era reformasi tahun 1998 terjadi perubahan yang sangat mendasar di bidang ketenagakerjaan. Seiring perubahan politik dan ekonomi menjadi titik balik dari orde baru yang cenderung tertutup. Diawali dengan diratifikasinya oleh Indonesia Konvensi Internasional Labor Organisation (ILO) Nomor 87 tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) nomor 80 Tahun 1998, yang sebelumnya pada masa Orde Baru tidak terdapat kebebasan berserikat karena hanya dikenal 1 (satu) Organisasi pekerja/buruh (single union), menjadi lebih dari satu organisasi pekerja (multi union) pada masa reformasi.
Dengan diberikannya kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat, para pekerja merasa telah memiliki kembali haknya untuk berserikat, berdirilah Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) di Indonesia bagaikan jamur dimusim hujan, yang pembentukannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang SP/SB.
Terdapatnya kebebasan berserikat, menimbulkan masalah baru bagi perusahaan menyangkut hubungan antara pengusaha dan SP/SB tentang masalah kepentingan kedua belah pihak menyangkut syarat-syarat kerja, kepengurusan SP/SB, keanggotaan yang sering menimbulkan perselisihan Hubungan Industrial berupa PHK dan unjuk rasa/mogok kerja yang banyak diberitakan dalam media massa.
Terbitnya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang pasal-pasalnya meliputi segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum bekerja (pra employment) yaitu masalah pengangguran yang jumlahnya cukup tinggi, meningkat dari tahun ke tahun, sementara angkatan kerja dengan usia kerja yang potensial untuk bekerja tidak memiliki keterampilan/keahlian dan kesempatan kerja yang sangat terbatas maupun tingkat produktivitas Indonesia yang masih sangat rendah adalah merupakan masalah sosial yang sangat pelik.
Selanjutnya pasal-pasal setelah memasuki pasar kerja/pada masa bekerja (during employment) berkaitan dengan masalah hubungan kerja antara pengusaha dan SP/SB/Pekerja menyangkut masalah pengupahan (UMP/UMK), masih dijumpai perusahaan-perusahaan yang belum memberikan UMP/UMK sesuai ketentuan dan masih membayar UMP/UMK meskipun masa kerja sudah bertahun-tahun. Pihak pekerja yang mayoritas berkualitas sumber daya manusia (SDM) rendah nyaris tidak memiliki posisi tawar dalam menetapkan gaji yang diinginkan. Sehingga besaran gaji hanya ditentukan sepihak oleh majikan, dalam hal ini kaum buruh berada pada posisi sulit menolak.
Berita tentang perselisihan/PHK disebabkan perusahaan merugi karena tidak ada bahan baku, persaingan dengan produk luar negeri sampai dengan PHK sepihak tanpa alasan yang jelas. Masih banyaknya dijumpai pekerja-pekerja kontrak/outsourching di perusahaan dengan memperpanjang kontrak secara terus menerus dan tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan membuat pekerja merasa tidak ada jaminan masa kerja yang pasti yang sewaktu-waktu dapat di-PHK.



B. PEMBAHASAN/ANALISIS

a. Permasalahan Ketenagakerjaan di Indonesia
1. Para majikan mempunyai kedudukan yang sangat kuat karena hukum pasar berlaku, yaitu angkatan kerja sangat besar sehingga kebutuhan akan pekerjaan menjadi semakin tinggi. Dalam keadaan seperti ini, pencari kerja akan cenderung menyepakati begitu saja tawaran upah yang diberikan oleh majikan, karena tidak sepakat berarti tidak mendapat pekerjaan.
2. Kondisi keamanan yang penuh dengan ketidakpastian membuat investor asing menjadi ragu-ragu untuk menanamkan modalnya, berakibat investor beralih ke negara tetangga padahal upah tenaga kerja di sana sangat jauh lebih tinggi daripada di Indonesia. Hal ini membuat minimnya lapangan pekerjaan di Indonesia.
3. Biaya ekonomi yang tinggi akibat korupsi dari pemerintah, kalah bersaing untuk mendapatkan pasar, tingginya harga komponen bahan baku impor, rendahnya teknologi alat-alat produksi menjadi alasan tidak tertariknya investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
4. Masalah ekonomi biaya tinggi sangat berpengaruh terhadap kebijakan perburuhan di Indonesia. Berbagai macam biaya siluman dari pengurus usaha, pajak di bawah meja, preman-preman di daerah industri membuat pengusaha menurunkan kualitas barang dan menekan upah buruh untuk membuat perusahaan tetap eksis.
5. Otonomi daerah menimbulkan banyak permasalahan yang semakin membingungkan pengusaha. Dari pemerintah pusat sampai daerah, semua meminta jatah/retribusi.





b. Masalah dalam UUK No. 13 Tahun 2003

Masalah yang pokok dalam UU Ketenagakerjaan adalah menghilangkan jaminan hak atas pekerjaan, melegalisasikan praktik-praktik sistem kerja kontrak ilegal dan outsourcing, melepaskan tanggung jawab dan kewajiban negara untuk melindungi buruh dan mempertahankan hak atas pekerjaannya, mengebiri serikat buruh dan meligitimasi kebijakan upah murah intinya substansi isi UUK ini sangat merugikan dan tidak berpihak pada kaum buruh, sehingga dampaknya sangat nyata dirasakan oleh kaum buruh dan keluarganya begitu buruk dan menyengsarakan. Sebagaimana kita saksikan semenjak di berlakukan UUK gelombang PHK massal terjadi dimana-mana dengan tanpa pesangon, ataupun dalam rangka menggantikan buruh tetap/permanen menjadi buruh kontrak, semua perusahaan ramai-ramai tidak lagi menerima buruh tetap semuanya sebagai buruh kontrak ataupun outsourcing demi menghindari berbagai kewajiban pengusaha dalam pemenuhan hak-hak buruh [upah yang layak, jaminan sosial, pesangon, THR] dan masih banyak lagi deretan peristiwa yang menjelaskan paraktek-praktek yang membuat kaum buruh ditindas dan dihisap [eksploitasi] baik yang terang-terangan ataupun yang terselubung yang dilakukan oleh pemodal /pengusaha dan rezim anti buruh atas nama hukum UU No.13 Tahun 2003 yang nyata-nyata adalah produk rezim anti buruh, anti rakyat sebagai jalan untuk melapangkan kepentingan modal asing yang dipaksakan.
Rezim pemerintahan terus berganti, tapi nasib kaum buruh tetap saja tidak berubah, justru malah terus ditindas dan dihisap. Rezim yang berkuasa tetap saja belum mampu memenuhi keinginan para buruh/tenaga kerja mengenai peraturan perundang-undangan yang adil.
Adapun pasal-pasal yang DIREVISI dalam UUK No13 Tahun 2003 yang sangat merugikan kaum buruh diantaranya :
1. Buruh Kontrak dan Outsourcing
Diterapkannya kebijakan Labour Market Flexibility (LMF) melalui dilegalkannya sistem kerja kontrak dan Outsourcing lewat UUK No. 13 Tahun 2003 jelas membuat posisi kaum buruh semakin lemah, dimana tidak ada kepastian kerja, kepastian upah, jaminan sosial, THR dan tunjang-tunjangan kesejahteraan lainnya. Konsep Outsorcing yang tidak memberikan batasan apapun, sehingga berdampak pada bahwa kaum buruh bebas diperjualbelikan dan dikontrak dengan cara apapun.

2. Upah
Dalam revisi dinyatakan bahwa untuk penetapan Upah Minimum (UMK/UMP) ditetapkan berdasarkan kemampuan sektor usaha yang paling lemah/marginal dan pemerintah mengambil posisi bahwa Upah Minimum hanyalah sebagai jaring pengaman saja. Selain itu penentuan kenaikan Upah Minimum pun disesuaikan setiap 2 tahun sekali.
Dengan kebijakan ini sudah dapat dipastikan perusahaan menengah dan besar akan menggunakan alasan hukum ini untuk membayar upah buruhnya dengan upah yang murah padahal kemampuan si perusahaan tersebut untuk membayar upah minum sudah jauh melebihi dari ketentuan yang ada. Kebijakan ini menempatkan buruh untuk hidup dalam keadaan yang serba pas-pasan

3. Cuti
Dalam revisinya pemerintah menghilangkan mengenai hak Cuti panjang bagi buruh. Dimana dalam UU sebelumnya bahwa bagi buruh yang sudah memiliki masa kerja selama 6 tahun secara terus menerus berhak mendapatkan cuti panjang selama 1 bulan sebagaimana yang berbunyi ; Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksankan pada tahun ke 7 dan ke 8 masing-masing 1 bulan bagi buruh yang telah bekerja selama 6 tahun terus menerus pada perusahaan yang sama. Sedangkan dalam Revisi UUK hal tersebut dihapus.

4. Jaminan Sosial
Dengan diterapkannya sistem kerja Kontrak dan Outsourcing yang sedemikian buruk dampaknya bagi buruh, maka dipastikan kaum buruh dan keluarganya tidak akan lagi mendapatkan jaminan sosial karena posisi tawar buruh semakin lemah apalagi apabila dilihat dengan jumlah angka pengangguran di negara kita yang sangat tinggi sementara kesempatan/ lapangan kerja tambah sempit. Jaminan sosial yang meliputi jaminan kesejahteraan, keselamatan, kecelakaan kurang mendapat perhatian dari pengusaha.
Perbedaan antara jumlah tenaga kerja dan lapangan kerja membuat para buruh menerima begitu saja jika upahnya dibayar dibawah ketentuan UMK/UMP, tidak diberikan cuti haid dan tahunan, tidak diikutsertakan dalam program jamsostek maupun pemenuhan hak-hak normatif lainnya. Selain itu ukuran kesejahteraan yang harus diterima buruh hanya sebatas kebutuhan buruh dan yang paling penting adalah pemberian kesejahteraan itu harus sesuai dengan kemampuan perusahaan dan teknisnya diserahkan pada peraturan pemerintah dan peraturan dari perusahaan itu sendiri. Dalam revisi UUK ini mengenai Upah Pensiun bagi buruh dihapuskan alias dihilangkan sama sekali.

5. PHK dan Uang Pesangon
Dalam revisi UUK, masalah PHK semakin dipermudah, bahkan kebiijakan mengenai pemberian uang pesangon bagi buruh yang ter-PHK ditentukan maksimal sampai 7 bulan upah, termasuk jika perusahaan melakukan PHK karena alasan efisiensi, dan mengenai uang penghargaan masa kerja diberikan hanya bagi buruh yang sudah memiliki masa kerja diatas 5 tahun atau lebih dengan batas maksimal pemberian uang penghargaan masa kerja sebesar 6 bulan upah. Masalah lain jika perusahaan tutup karena alasan Force Majour, maka buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon yang artinya perusahaan terbebas dari kewajibannya untuk membayar pesangon dan hak buruh lainnya.
Selain itu buruh yang berhak mendapatkan pesangon adalah hanya bagi buruh yang upahnya lebih rendah atau sama dengan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) kira-kira sebesar 1 juta, yang artinya bahwa bagi buruh/pekerja yang menerima upah di atas PTKP (lebih dari1 juta) tidak berhak mendapatkan uang pesangon. Maka sangat jelas bagi buruh dan golongan Mid IIIa Managemen seperti Kepala Regu, Supervisor, Kepala Bagian, Kepala Seksi Foreman, Personalia sampai pada direksi dan komisaris dll tidak diatur lagi dalam draff Revisi UUK ini, dan mereka ini dianggap bukan buruh lagi.

6. Kesalahan Berat dan Skorsing [pasal 158 UUK No 13 Tahun 2003]
Dalam keputusan hasil Judicial Review di Mahkamah konstitusi Pasal 158 yang mengatur tentang kesalahan berat dan skorsing ini telah dibatalkan/dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Tetapi oleh pemerintah dihidupkan kembali dengan memperbolehkan pengusaha untuk melakukan skorsing dengan membayar upah buruh sebesar 50 persen.

7. Kebebasan Berserikat
Di satu sisi buruh diperbolehkan berorgansiasi bahkan dipermudah dengan 10 orang buruh boleh membentuk organisasi buruh/Serikat buruh, tapi tidak ada jaminan perlindungan bagi buruh yang mengikuti kegiatan serikat buruh/berorganisasi. Di lain pihak dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing sudah dipastikan buruh takut untuk masuk/membentuk serikat buruh karena takut tidak diperpanjang masa kontraknya. Padahal Serikat buruh adalah alat yang mutlak dibutuhkan oleh buruh untuk memperjuangkan hak dan kepentingannya serta untuk membentengi diri kaum buruh dari perlakuan buruk pengusaha. Belum lagi mandulnya penegakan hukum dari aparat pemerintah akibat berbagai penyelewegan dimana kasus-kasus pidana yang dilakukan pengusaha yang melakukan tindakan menghalang-halangi hak kebebasan berserikat yang telah dilaporkan kepada polisi dan Depnaker tidak ada yang ditindaklanjuti, di sini semakin memperjelas bahwa pemerintah tidak berperan secara aktif dan adil.

8. Mogok Kerja
Mogok kerja adalah hak buruh dan serikat buruh, tapi dalam UUK ini dipertegas adanya sikap pengekangan terhadap hak mogok serta adanya syarat-syarat dengan adanya sangsi PHK dan atau ganti rugi. Selain itu pemogokan di UUK ini hanya diperbolehkan ketika gagal perundingan dan ditujukan pada majikan saja dan tuntutannyapun terbatas hanya mengenai soal-soal di tempat kerja (ekonomis) saja. Sedangkan untuk pemogokan masalah politik, seperti penolakan terhadap Undang-undang, kenaikan BBM, TDL, pemogokan solidaritas bagi buruh atau serikat buruh lain itu tidak dikenal yang intinya tidak diperbolehkan.
Pembatasan pemogokan hanya pada pemogokan soal ekonomi semata adalah sikap pengingkaran sekaligus pengebirian terhadap berbagai kovensi ILO dan juga riwayat perjuangan serikat buruh Indonesia.

9. Tenaga Kerja Asing
Dalam jumlah rakyat Indonesia yang menganggur telah mencapai angka 42 juta, sementara lapangan kerja yang semakin sulit, maka sudah seharusnya pemerintah dalam setiap program dan menerbitkan peraturan/UU memperioritaskan kepentingan dan hak rakyatnya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Tapi dalam revisi UUK ini pemerintah lewat UUK 13 Thn 2003 malah memberikan kelonggaran yang sangat luas bagi tenaga kerja asing untuk bekerja di Indonesia dan bersaing dipasar tenaga kerja dengan rakyat Indonesia yang tingkat keterampilan dan pendidikannya sudah dipastikan rata-rata jauh di bawah tenaga kerja asing.






BAB III
PENUTUP



A. KESIMPULAN

Dalam waktu lama telah terjadi pandangan yang keliru bahwa perusahaan adalah kepentingan pengusaha dan pemilik saja (majikan). Kenyataannya, masyarakat juga mempunyai kepentingan atas kinerja dari perusahaan dalam hal menyediakan produk dan jasa perusahaan, menciptakan kesempatan kerja, dan menyerap pencari kerja. Dalam hal ini pemerintah juga berkepentingan agar masyarakat dapat mencapai kesejahteraan.
Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antarpara pelaku dalam proses produksi barang dan jasa, yang terdiri dari pengusaha, buruh, dan pemerintah. Sedangkan, hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dan buruh atau pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Kurangnya kualitas SDM yang ada bukanlah suatu hal yang dapat menjadikan pengusaha/majikan dapat bertindak semena-mena. Tenaga kerja merupakan mitra pengusaha dalam hubungan industri dan hubungan kerja.
Dari uraian tersebut, jelas bahwa sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku proses produksi mempunyai kedudukan yang sangat strategis. Sebagai bagian dari tujuan pembangunan, buruh atau pekerja perlu memperoleh perlindungan dalam semua aspek, oleh karena dibanding pengusaha, posisi mereka paling lemah, terutama dalam aspek ekonomi.
Dalam masalah ketenagakerjaan ini, pemerintah berperan sebagai pihak penengah yang harus mampu mengakomodir konflik kepentingan yang terjadi antara pengusaha/majikan dengan buruh/tenaga kerja. Melalui peraturan perundang-undangan yang lebih memanusiakan kaum buruh/pekerja.
B. SARAN

Secara teoritis sejumlah peraturan dan perundang-undangan perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia sebenarnya telah memadai oleh karena hampir semua aspek penting di bidang perburuhan telah diatur.
Namun demikian, masih ada kekurangan dalam peraturan perundang-undangan tersebut, khususnya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU ini dirasa terlalu menguntungkan pengusaha/ majikan, sementara di sisi lain buruh/pekerja dirugikan dengan hak-hak yang semakin dibatasi. Untuk itu, perlu dibuat peraturan perundang-undangan baru yang lebih adil bagi semua pihak, baik pengusaha/majikan, dan buruh/pekerja.
Kekurangan yang ada dalam peraturan perundang-undangan tidak akan sampai kritis apabila ketiga unsur pelaku proses produksi secara profesional menempatkan dirinya dalam hubungan industri dengan benar dan baik.
Solusi yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan ketenagakerjaan antara lain :
1. Peningkatan kualitas SDM agar mempunyai kompetensi untuk bersaing
2. Pemberian hak-hak yang layak bagi para buruh
3. Modernisasi teknologi dan alat-alat kerja dalam perindustrian sehingga mampu bersaing di pasaran internasional
4. Peningkatan stabilitas nasional sehingga dapat mengembalikan kepercayaan investor asing
5. Dialog aktif dan berkesinambungan antara kaum buruh (Serikat Pekerja) dengan para pengusaha
6. Revisi UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebaiknya tidak dilakukan, karena terlalu banyak hal yang lebih merugikan kaum buruh
7. Pembuatan undang-undang baru yang lebih adil baik bagi kaum buruh/ pekerja maupun para pengusaha
8. Pemerintah harus lebih aktif dalam menangani perkara-perkara yang berkaitan dengan ketenagakerjaan khususnya mengenai penindasan oleh majikan kepada buruhnya.
Daftar Pustaka



Husri, Lalu, Pengantar Hukum Ketatanegaraan Indonesia 2003.2003. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Rusli, Haridjan.Hukum Ketenagakerjaan 2003.2004. Jakarta : Ghalia Indonesia
Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003