Selasa, 18 Mei 2010

makalah hukum tata negra

BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia adalah sebuah negara yang sedang berkembang. Proses perkembangan ini dapat dilihat dari pembangunan di segala bidang. Berbagai bidang kehidupan mulai dari politik, sosial, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan bidang-bidang kehidupan lainnya. Diperlukan berbagai peraturan perundang-undangan untuk dapat membangun bidang-bidang kehidupan itu.
Salah satu masalah yang sangat menarik selain perekonomian dan politik, adalah masalah sosial. Permasalahan-permasalahan sosial misalnya tentang jumlah penduduk Indonesia yang begitu banyak. Banyaknya penduduk Indonesia tidak tersebar merata di seluruh Indonesia. Kebanyakan penduduk Indonesia terpusat di Pulau Jawa. Hal ini disebabkan karena Pulau Jawa adalah pusat jalannya pemerintahan Indonesia.
Banyaknya jumlah penduduk Indonesia sangat menguntungkan. Sumber daya manusia yang banyak memungkinkan potensi tenaga kerja yang banyak pula. Hal yang disayangkan adalah banyaknya tenaga kerja tanpa kemampuan dan keahlian yang cukup. Permasalahan ini menyebabkan tenaga kerja di Indonesia kurang diperhitungkan. Banyak tenaga kerja, namun keahlian terbatas. Muncul berbagai masalah, misalnya tenaga kerja tidak mendapat upah yang layak, tidak adanya asuransi keselamatan jiwa, hak-hak yang dibatasi, sampai mendapat perlakuan yang sewenang-wenang dari majikan.
Pembangunan peraturan ketenagakerjaan harus diatur dengan lebih baik. Peranan pemerintah harus lebih luas dalam menangani masalah ketenagakerjaan. Peranan pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan menyebabkan sifat Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan menjadi ganda, yaitu privat dan publik. Ruang lingkup peraturan ketenagakerjaan menjadi lebih luas, tidak hanya mengatur aspek hukum dalam hubungan kerja saja, tetapi juga meliputi aspek sebelum terjadi hubungan kerja (pra-employment), dan setelah hubungan kerja berakhir (post-employment). Hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja harus diatur dengan jelas sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan terhadap kaum pekerja.
Masalah tenaga kerja tidak hanya berkaitan dengan kepentingan tenaga kerja sebelum bekerja, selama bekerja, dan sesudah masa kerja, tetapi berkaitan erat dengan kepentingan pengusaha yang dalam hal ini berkedudukan sebagai majikan, pemerintah, dan masyarakat. Perlu ada peraturan yang menyeluruh dan komprehensif untuk dapat mengkomodir hubungan yang terjadi dalam hal ketenagakerjaan, yang mencakup peningkatan dan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja, upaya perluasan kesempatan kerja, pembinaan hubungan industri. Selain itu pemerintah juga harus membuat peraturan yang mampu memberikan hak-hak bagi tenaga kerja/pekerja/buruh dan hubungannya dengan kepentingan majikan. Harus ada perlindungan baik menyangkut keselamtan jiwa, kesehatan, upah yang layak, dan hal lainnya.

B. PERMASALAHAN/POKOK MASALAH

Beberapa waktu terakhir ini di Indonesia banyak terjadi unjuk rasa dan demo-demo dari para pekerja terhadap pemerintah mengenai UU Ketenagakerjaan. Para pekerja/buruh menilai UU tersebut tidak menguntungkan bagi mereka, terlalu memihak dan lebih menguntungkan majikan/pengusaha. Misalnya saja tentang upah minimum yang dirasakan oleh para pekerja/buruh belum layak untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari, kurangnya perlindungan/jaminan sosial baik jaminan keselamatan maupun kesehatan bagi para pekerja/buruh. Dalam kondisi semacam ini masing-masing pihak baik pengusaha, buruh, maupun pemerintah merupakan pihak yang saling berlawanan dan bermusuhan. Usaha yang semula hendak berlandaskan maksud dan tujuan baik dari semua pihak.
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN


A. KETENAGAKERJAAN PRA DAN PASCA REFORMASI

Berita tentang ekonomi, politik, kriminal setiap hari menghiasi halaman-halaman surat kabar, namun tak kalah penting ialah masalah ketenagakerjaan. meskipun hanya merupakan salah satu sub sistem dari sistem sosial ekonomi namun beritanya hampir setiap hari dimuat surat kabar dan selalu menarik untuk dibaca karena menyangkut kepentingan rakyat banyak, dimana lebih dari 50% penduduk Indonesia masuk dalam kategori angkatan kerja yang berusia 15 tahun ke atas dan sebagian besar di antaranya masuk kelompok usia kerja yang potensial untuk bekerja (labor force). Dari kelompok usia kerja yang potensial tersebut sebagian di antaranya masih menganggur. Ada yang secara aktif mencari pekerjaan, sementara kualitas SDM yang dimiliki rata-rata masih rendah. Hal ini menjadi beban dalam masyarakat yang apabila tidak segera ditanggulangi dapat menimbulkan keresahan sosial dan mengganggu pertumbuhan ekonomi, dimana tingkat pertumbuhan ekonomi sangat menentukan bagi terbukanya lapangan kerja, kelangsungan usaha, investasi dan kondisi Hubungan Industrial.


a. Ketenagakerjaan Pra-Reformasi

Dari pengalaman selama 30 tahun, semua pihak tahu kalau pemerintah kurang memberi kesempatan untuk semua pihak bergerak sesuai dengan hati nuraninya. Hal ini dilakukan untuk meredam gejolak yang akan mengganggu jalannya stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan.
Dasar awal yang berprinsip baik tadi semakin lama menjadi semakin kabur karena pada akhirnya dalam realitas menjelma menjadi kekuatan yang menekan demokrasi, kebebasan, dan keharmonisan masyarakat.
Upaya yang ditancapkan dalam prinsip hubungan industrial yang berdasar Pancasila hanya slogan belaka. Rumusan yang baik pada akhirnya menjadi sangat tidak bermanfaat karena tidak dapat ditemui dalam realitas. Istilah "pengusaha adalah mitra buruh" dan "buruh adalah mitra pengusaha" hanyalah samar-samar ditemui dalam pelaksanaannya.
Sistem satu organisasi buruh dan satu organisasi pengusaha ternyata mendatangkan kenyataan monopoli wewenang di segala bidang perburuhan yang mengakibatkan suara yang berbeda disingkirkan. Situasi ini menimbulkan tekanan terhadap kaum buruh maupun terhadap pengusaha, baik individual maupun kolektif dalam organisasinya.

b. Ketenagakerjaan Pasca-Reformasi

Memasuki era reformasi tahun 1998 terjadi perubahan yang sangat mendasar di bidang ketenagakerjaan. Seiring perubahan politik dan ekonomi menjadi titik balik dari orde baru yang cenderung tertutup. Diawali dengan diratifikasinya oleh Indonesia Konvensi Internasional Labor Organisation (ILO) Nomor 87 tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) nomor 80 Tahun 1998, yang sebelumnya pada masa Orde Baru tidak terdapat kebebasan berserikat karena hanya dikenal 1 (satu) Organisasi pekerja/buruh (single union), menjadi lebih dari satu organisasi pekerja (multi union) pada masa reformasi.
Dengan diberikannya kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat, para pekerja merasa telah memiliki kembali haknya untuk berserikat, berdirilah Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) di Indonesia bagaikan jamur dimusim hujan, yang pembentukannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang SP/SB.
Terdapatnya kebebasan berserikat, menimbulkan masalah baru bagi perusahaan menyangkut hubungan antara pengusaha dan SP/SB tentang masalah kepentingan kedua belah pihak menyangkut syarat-syarat kerja, kepengurusan SP/SB, keanggotaan yang sering menimbulkan perselisihan Hubungan Industrial berupa PHK dan unjuk rasa/mogok kerja yang banyak diberitakan dalam media massa.
Terbitnya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang pasal-pasalnya meliputi segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum bekerja (pra employment) yaitu masalah pengangguran yang jumlahnya cukup tinggi, meningkat dari tahun ke tahun, sementara angkatan kerja dengan usia kerja yang potensial untuk bekerja tidak memiliki keterampilan/keahlian dan kesempatan kerja yang sangat terbatas maupun tingkat produktivitas Indonesia yang masih sangat rendah adalah merupakan masalah sosial yang sangat pelik.
Selanjutnya pasal-pasal setelah memasuki pasar kerja/pada masa bekerja (during employment) berkaitan dengan masalah hubungan kerja antara pengusaha dan SP/SB/Pekerja menyangkut masalah pengupahan (UMP/UMK), masih dijumpai perusahaan-perusahaan yang belum memberikan UMP/UMK sesuai ketentuan dan masih membayar UMP/UMK meskipun masa kerja sudah bertahun-tahun. Pihak pekerja yang mayoritas berkualitas sumber daya manusia (SDM) rendah nyaris tidak memiliki posisi tawar dalam menetapkan gaji yang diinginkan. Sehingga besaran gaji hanya ditentukan sepihak oleh majikan, dalam hal ini kaum buruh berada pada posisi sulit menolak.
Berita tentang perselisihan/PHK disebabkan perusahaan merugi karena tidak ada bahan baku, persaingan dengan produk luar negeri sampai dengan PHK sepihak tanpa alasan yang jelas. Masih banyaknya dijumpai pekerja-pekerja kontrak/outsourching di perusahaan dengan memperpanjang kontrak secara terus menerus dan tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan membuat pekerja merasa tidak ada jaminan masa kerja yang pasti yang sewaktu-waktu dapat di-PHK.



B. PEMBAHASAN/ANALISIS

a. Permasalahan Ketenagakerjaan di Indonesia
1. Para majikan mempunyai kedudukan yang sangat kuat karena hukum pasar berlaku, yaitu angkatan kerja sangat besar sehingga kebutuhan akan pekerjaan menjadi semakin tinggi. Dalam keadaan seperti ini, pencari kerja akan cenderung menyepakati begitu saja tawaran upah yang diberikan oleh majikan, karena tidak sepakat berarti tidak mendapat pekerjaan.
2. Kondisi keamanan yang penuh dengan ketidakpastian membuat investor asing menjadi ragu-ragu untuk menanamkan modalnya, berakibat investor beralih ke negara tetangga padahal upah tenaga kerja di sana sangat jauh lebih tinggi daripada di Indonesia. Hal ini membuat minimnya lapangan pekerjaan di Indonesia.
3. Biaya ekonomi yang tinggi akibat korupsi dari pemerintah, kalah bersaing untuk mendapatkan pasar, tingginya harga komponen bahan baku impor, rendahnya teknologi alat-alat produksi menjadi alasan tidak tertariknya investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
4. Masalah ekonomi biaya tinggi sangat berpengaruh terhadap kebijakan perburuhan di Indonesia. Berbagai macam biaya siluman dari pengurus usaha, pajak di bawah meja, preman-preman di daerah industri membuat pengusaha menurunkan kualitas barang dan menekan upah buruh untuk membuat perusahaan tetap eksis.
5. Otonomi daerah menimbulkan banyak permasalahan yang semakin membingungkan pengusaha. Dari pemerintah pusat sampai daerah, semua meminta jatah/retribusi.





b. Masalah dalam UUK No. 13 Tahun 2003

Masalah yang pokok dalam UU Ketenagakerjaan adalah menghilangkan jaminan hak atas pekerjaan, melegalisasikan praktik-praktik sistem kerja kontrak ilegal dan outsourcing, melepaskan tanggung jawab dan kewajiban negara untuk melindungi buruh dan mempertahankan hak atas pekerjaannya, mengebiri serikat buruh dan meligitimasi kebijakan upah murah intinya substansi isi UUK ini sangat merugikan dan tidak berpihak pada kaum buruh, sehingga dampaknya sangat nyata dirasakan oleh kaum buruh dan keluarganya begitu buruk dan menyengsarakan. Sebagaimana kita saksikan semenjak di berlakukan UUK gelombang PHK massal terjadi dimana-mana dengan tanpa pesangon, ataupun dalam rangka menggantikan buruh tetap/permanen menjadi buruh kontrak, semua perusahaan ramai-ramai tidak lagi menerima buruh tetap semuanya sebagai buruh kontrak ataupun outsourcing demi menghindari berbagai kewajiban pengusaha dalam pemenuhan hak-hak buruh [upah yang layak, jaminan sosial, pesangon, THR] dan masih banyak lagi deretan peristiwa yang menjelaskan paraktek-praktek yang membuat kaum buruh ditindas dan dihisap [eksploitasi] baik yang terang-terangan ataupun yang terselubung yang dilakukan oleh pemodal /pengusaha dan rezim anti buruh atas nama hukum UU No.13 Tahun 2003 yang nyata-nyata adalah produk rezim anti buruh, anti rakyat sebagai jalan untuk melapangkan kepentingan modal asing yang dipaksakan.
Rezim pemerintahan terus berganti, tapi nasib kaum buruh tetap saja tidak berubah, justru malah terus ditindas dan dihisap. Rezim yang berkuasa tetap saja belum mampu memenuhi keinginan para buruh/tenaga kerja mengenai peraturan perundang-undangan yang adil.
Adapun pasal-pasal yang DIREVISI dalam UUK No13 Tahun 2003 yang sangat merugikan kaum buruh diantaranya :
1. Buruh Kontrak dan Outsourcing
Diterapkannya kebijakan Labour Market Flexibility (LMF) melalui dilegalkannya sistem kerja kontrak dan Outsourcing lewat UUK No. 13 Tahun 2003 jelas membuat posisi kaum buruh semakin lemah, dimana tidak ada kepastian kerja, kepastian upah, jaminan sosial, THR dan tunjang-tunjangan kesejahteraan lainnya. Konsep Outsorcing yang tidak memberikan batasan apapun, sehingga berdampak pada bahwa kaum buruh bebas diperjualbelikan dan dikontrak dengan cara apapun.

2. Upah
Dalam revisi dinyatakan bahwa untuk penetapan Upah Minimum (UMK/UMP) ditetapkan berdasarkan kemampuan sektor usaha yang paling lemah/marginal dan pemerintah mengambil posisi bahwa Upah Minimum hanyalah sebagai jaring pengaman saja. Selain itu penentuan kenaikan Upah Minimum pun disesuaikan setiap 2 tahun sekali.
Dengan kebijakan ini sudah dapat dipastikan perusahaan menengah dan besar akan menggunakan alasan hukum ini untuk membayar upah buruhnya dengan upah yang murah padahal kemampuan si perusahaan tersebut untuk membayar upah minum sudah jauh melebihi dari ketentuan yang ada. Kebijakan ini menempatkan buruh untuk hidup dalam keadaan yang serba pas-pasan

3. Cuti
Dalam revisinya pemerintah menghilangkan mengenai hak Cuti panjang bagi buruh. Dimana dalam UU sebelumnya bahwa bagi buruh yang sudah memiliki masa kerja selama 6 tahun secara terus menerus berhak mendapatkan cuti panjang selama 1 bulan sebagaimana yang berbunyi ; Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksankan pada tahun ke 7 dan ke 8 masing-masing 1 bulan bagi buruh yang telah bekerja selama 6 tahun terus menerus pada perusahaan yang sama. Sedangkan dalam Revisi UUK hal tersebut dihapus.

4. Jaminan Sosial
Dengan diterapkannya sistem kerja Kontrak dan Outsourcing yang sedemikian buruk dampaknya bagi buruh, maka dipastikan kaum buruh dan keluarganya tidak akan lagi mendapatkan jaminan sosial karena posisi tawar buruh semakin lemah apalagi apabila dilihat dengan jumlah angka pengangguran di negara kita yang sangat tinggi sementara kesempatan/ lapangan kerja tambah sempit. Jaminan sosial yang meliputi jaminan kesejahteraan, keselamatan, kecelakaan kurang mendapat perhatian dari pengusaha.
Perbedaan antara jumlah tenaga kerja dan lapangan kerja membuat para buruh menerima begitu saja jika upahnya dibayar dibawah ketentuan UMK/UMP, tidak diberikan cuti haid dan tahunan, tidak diikutsertakan dalam program jamsostek maupun pemenuhan hak-hak normatif lainnya. Selain itu ukuran kesejahteraan yang harus diterima buruh hanya sebatas kebutuhan buruh dan yang paling penting adalah pemberian kesejahteraan itu harus sesuai dengan kemampuan perusahaan dan teknisnya diserahkan pada peraturan pemerintah dan peraturan dari perusahaan itu sendiri. Dalam revisi UUK ini mengenai Upah Pensiun bagi buruh dihapuskan alias dihilangkan sama sekali.

5. PHK dan Uang Pesangon
Dalam revisi UUK, masalah PHK semakin dipermudah, bahkan kebiijakan mengenai pemberian uang pesangon bagi buruh yang ter-PHK ditentukan maksimal sampai 7 bulan upah, termasuk jika perusahaan melakukan PHK karena alasan efisiensi, dan mengenai uang penghargaan masa kerja diberikan hanya bagi buruh yang sudah memiliki masa kerja diatas 5 tahun atau lebih dengan batas maksimal pemberian uang penghargaan masa kerja sebesar 6 bulan upah. Masalah lain jika perusahaan tutup karena alasan Force Majour, maka buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon yang artinya perusahaan terbebas dari kewajibannya untuk membayar pesangon dan hak buruh lainnya.
Selain itu buruh yang berhak mendapatkan pesangon adalah hanya bagi buruh yang upahnya lebih rendah atau sama dengan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) kira-kira sebesar 1 juta, yang artinya bahwa bagi buruh/pekerja yang menerima upah di atas PTKP (lebih dari1 juta) tidak berhak mendapatkan uang pesangon. Maka sangat jelas bagi buruh dan golongan Mid IIIa Managemen seperti Kepala Regu, Supervisor, Kepala Bagian, Kepala Seksi Foreman, Personalia sampai pada direksi dan komisaris dll tidak diatur lagi dalam draff Revisi UUK ini, dan mereka ini dianggap bukan buruh lagi.

6. Kesalahan Berat dan Skorsing [pasal 158 UUK No 13 Tahun 2003]
Dalam keputusan hasil Judicial Review di Mahkamah konstitusi Pasal 158 yang mengatur tentang kesalahan berat dan skorsing ini telah dibatalkan/dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Tetapi oleh pemerintah dihidupkan kembali dengan memperbolehkan pengusaha untuk melakukan skorsing dengan membayar upah buruh sebesar 50 persen.

7. Kebebasan Berserikat
Di satu sisi buruh diperbolehkan berorgansiasi bahkan dipermudah dengan 10 orang buruh boleh membentuk organisasi buruh/Serikat buruh, tapi tidak ada jaminan perlindungan bagi buruh yang mengikuti kegiatan serikat buruh/berorganisasi. Di lain pihak dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing sudah dipastikan buruh takut untuk masuk/membentuk serikat buruh karena takut tidak diperpanjang masa kontraknya. Padahal Serikat buruh adalah alat yang mutlak dibutuhkan oleh buruh untuk memperjuangkan hak dan kepentingannya serta untuk membentengi diri kaum buruh dari perlakuan buruk pengusaha. Belum lagi mandulnya penegakan hukum dari aparat pemerintah akibat berbagai penyelewegan dimana kasus-kasus pidana yang dilakukan pengusaha yang melakukan tindakan menghalang-halangi hak kebebasan berserikat yang telah dilaporkan kepada polisi dan Depnaker tidak ada yang ditindaklanjuti, di sini semakin memperjelas bahwa pemerintah tidak berperan secara aktif dan adil.

8. Mogok Kerja
Mogok kerja adalah hak buruh dan serikat buruh, tapi dalam UUK ini dipertegas adanya sikap pengekangan terhadap hak mogok serta adanya syarat-syarat dengan adanya sangsi PHK dan atau ganti rugi. Selain itu pemogokan di UUK ini hanya diperbolehkan ketika gagal perundingan dan ditujukan pada majikan saja dan tuntutannyapun terbatas hanya mengenai soal-soal di tempat kerja (ekonomis) saja. Sedangkan untuk pemogokan masalah politik, seperti penolakan terhadap Undang-undang, kenaikan BBM, TDL, pemogokan solidaritas bagi buruh atau serikat buruh lain itu tidak dikenal yang intinya tidak diperbolehkan.
Pembatasan pemogokan hanya pada pemogokan soal ekonomi semata adalah sikap pengingkaran sekaligus pengebirian terhadap berbagai kovensi ILO dan juga riwayat perjuangan serikat buruh Indonesia.

9. Tenaga Kerja Asing
Dalam jumlah rakyat Indonesia yang menganggur telah mencapai angka 42 juta, sementara lapangan kerja yang semakin sulit, maka sudah seharusnya pemerintah dalam setiap program dan menerbitkan peraturan/UU memperioritaskan kepentingan dan hak rakyatnya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Tapi dalam revisi UUK ini pemerintah lewat UUK 13 Thn 2003 malah memberikan kelonggaran yang sangat luas bagi tenaga kerja asing untuk bekerja di Indonesia dan bersaing dipasar tenaga kerja dengan rakyat Indonesia yang tingkat keterampilan dan pendidikannya sudah dipastikan rata-rata jauh di bawah tenaga kerja asing.






BAB III
PENUTUP



A. KESIMPULAN

Dalam waktu lama telah terjadi pandangan yang keliru bahwa perusahaan adalah kepentingan pengusaha dan pemilik saja (majikan). Kenyataannya, masyarakat juga mempunyai kepentingan atas kinerja dari perusahaan dalam hal menyediakan produk dan jasa perusahaan, menciptakan kesempatan kerja, dan menyerap pencari kerja. Dalam hal ini pemerintah juga berkepentingan agar masyarakat dapat mencapai kesejahteraan.
Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antarpara pelaku dalam proses produksi barang dan jasa, yang terdiri dari pengusaha, buruh, dan pemerintah. Sedangkan, hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dan buruh atau pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Kurangnya kualitas SDM yang ada bukanlah suatu hal yang dapat menjadikan pengusaha/majikan dapat bertindak semena-mena. Tenaga kerja merupakan mitra pengusaha dalam hubungan industri dan hubungan kerja.
Dari uraian tersebut, jelas bahwa sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku proses produksi mempunyai kedudukan yang sangat strategis. Sebagai bagian dari tujuan pembangunan, buruh atau pekerja perlu memperoleh perlindungan dalam semua aspek, oleh karena dibanding pengusaha, posisi mereka paling lemah, terutama dalam aspek ekonomi.
Dalam masalah ketenagakerjaan ini, pemerintah berperan sebagai pihak penengah yang harus mampu mengakomodir konflik kepentingan yang terjadi antara pengusaha/majikan dengan buruh/tenaga kerja. Melalui peraturan perundang-undangan yang lebih memanusiakan kaum buruh/pekerja.
B. SARAN

Secara teoritis sejumlah peraturan dan perundang-undangan perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia sebenarnya telah memadai oleh karena hampir semua aspek penting di bidang perburuhan telah diatur.
Namun demikian, masih ada kekurangan dalam peraturan perundang-undangan tersebut, khususnya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU ini dirasa terlalu menguntungkan pengusaha/ majikan, sementara di sisi lain buruh/pekerja dirugikan dengan hak-hak yang semakin dibatasi. Untuk itu, perlu dibuat peraturan perundang-undangan baru yang lebih adil bagi semua pihak, baik pengusaha/majikan, dan buruh/pekerja.
Kekurangan yang ada dalam peraturan perundang-undangan tidak akan sampai kritis apabila ketiga unsur pelaku proses produksi secara profesional menempatkan dirinya dalam hubungan industri dengan benar dan baik.
Solusi yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan ketenagakerjaan antara lain :
1. Peningkatan kualitas SDM agar mempunyai kompetensi untuk bersaing
2. Pemberian hak-hak yang layak bagi para buruh
3. Modernisasi teknologi dan alat-alat kerja dalam perindustrian sehingga mampu bersaing di pasaran internasional
4. Peningkatan stabilitas nasional sehingga dapat mengembalikan kepercayaan investor asing
5. Dialog aktif dan berkesinambungan antara kaum buruh (Serikat Pekerja) dengan para pengusaha
6. Revisi UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebaiknya tidak dilakukan, karena terlalu banyak hal yang lebih merugikan kaum buruh
7. Pembuatan undang-undang baru yang lebih adil baik bagi kaum buruh/ pekerja maupun para pengusaha
8. Pemerintah harus lebih aktif dalam menangani perkara-perkara yang berkaitan dengan ketenagakerjaan khususnya mengenai penindasan oleh majikan kepada buruhnya.
Daftar Pustaka



Husri, Lalu, Pengantar Hukum Ketatanegaraan Indonesia 2003.2003. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Rusli, Haridjan.Hukum Ketenagakerjaan 2003.2004. Jakarta : Ghalia Indonesia
Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003

Tidak ada komentar: