Kamis, 17 September 2009

makalah tentang calon independen dalan PILKADA

BAB I
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Lahirnya putusan Makamah Konstitusi Republik Indonesia No.5/puu-v/2007 membatalkan sebagian pasal dalam UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah terutama pasal 59 ayat (1) dan (2) yang berbunyi ayat (1) :peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang di usulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ayat (2): partai politik atau gabungan partai politik sebagai mana di maksud dalam pasal 59 ayat (1) dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya 15% dari jumlah akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPRD di daerah yang bersangkutan.
Dengan lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No.5/puu-v/2007 memungkinkan pemilihan kepala daerah dapat di ikuti oleh calon independen. Putusan MK tersebut bagaikan ”bola panas” yang di luncurkan di tengah berlangsungnya pesta demokrasi yang terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia.
Sehingga putusan Mahkamah Konstitusi menimbulkan polemic dalam nasyarakat mengenai ke ikut sertaanya calon independen dalam p[emilihan kepala daerah.terlebih lagi pemerintah belum mengambil sikap secara tegas terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.Pemerintah melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa pemerintah menerima putusan tersebut tetapi Kalla mengatakan pemerintah belum dapat menentukan sikap terhadap ke ikut sertaan calon independen pada pemilihan kepala daerah.
Pertimbangan utama Mahkamah Konstitusi menerima judicial review terhadap UU no 32 tahun 2004 tentang pemda di dasarkan pada suatu upaya untuk mewujudkan system pemerintahan daerah yang demokratis di Indonesia.tetapi yang menjadi pertanyan kini apakah upaya tersebut dapat tercapai dengan system dan kriteria yang belum jelas dalam menentukan siapa calon independen itu.
Seharusnya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang di beri wewenang oleh pasal 24c ayat (1) UUD 1945 JO pasal 10 UU No.24 tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa : Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD1945 seharusnya tidak begitu saja mengabulkan dan atau menerima suatu judicial review terhadap suatu UUNo.32 tahun 2004 oleh pemohon atas dasr hak konstitusi pemohon di rugikan dengan berlakunya suatu UU. Seharusnya MK mengambil suatu keputusan berdasarkan pertimbangan akibat apa yang akan muncul dengan adanya putusan judicial review tersebut.
Karena sejatinya setiap kebijakan di negara demokrasi kerakyatan seprti Indonesia haruslah berdasarkan “denyut nadi rakyat”( suara rakyat) karena dalam nagara demokrasi kerakyatan ada asas “ solus populis suprema lex”( hukum tertinggi adalah sura rakyat).maka jika tidak sesuai dengan kehendak rakyat maka tidak layak suatu keputusan itu di perjuangkan. Karena berdasarkan hasil survey lembaga survei pusat kajian kebijakan dan pembangunan strategis (puskoptis) pada bulan Oktober- Desember 2007 membuktikan bahwa 81 % rakyat Indonesia tidak setuju dengan adanya calon independen 16% setuju dan 3% tidak tahu. Selian itu berdasarkan survey lembaga survei independen JPPR(jaringan pendidikan pemilu rakyat) menunjukan 79% rakyat tidak setuju,15% setuju dan 6% tidak tahu.
Berdasarkan hasil survei oleh lembaga survei pemerintah maupun lembaga survei independen menunjukan hasil yang tidak berbeda jauh mengenai penolakan rakyat Indonesia terhadap adanya caoln independen dalam pilkada. Hasil survei tersebut dapat menunjukan bahwa apa yang selama ini di gembor-gemborkan bahwa rakyat sangat mendukung adanya calon independen haruslah dipertanyakan kembali. Bukan tidak mungin berita tersebut hanya di hembuskan oleh mereka yang gagal lolos untuk menjadi calon kepala daerah dalam konvensi yang di lakukan oleh partai politik untuk mencari calon kepala daerah dari partai yang bersangkutan. Kalau hal tersebut benar maka calon independenhanyalah sebuah wacana demokrasi utopia (hayalan ) yang coba mereka tawarkan kepada rakyat dalam pilkada. Oleh sebab itu saya berusaha membuat makalah dengan se- objektif mungkin mengenai fenomena munculnya calon independen dalam pilkada



B .PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah saya paparkan maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang akan saya coba jawab dalam makalahini, rumusan masalahnya sebagai berikuit : apakah calon independen merupakan solusi untuk menciptakan sistem pemiihan kepala daerah yang demokratis di Indonesia?



BAB II
PEMBAHASAN

Terciptanya system demokrasi dalam penyelenggaraan pemilihn kepala daerah merupakan suatu dambaan bagi seluruh rakyat Indonesia pada umumnya. Tetapi apakah putusam Mahkamah Konstitusi No.5/puu-v/2007 yang membatalkan sebagian pasal dalam UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang berakibat memungkinkan calon independen dapat mengikuti pemilihan kepala daerah apakah merupakan sebuah jawaban dari impian rakyak Indonesia selama ini.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang meloloskan calon idndependen untuk dapat mencalonkan diri dalam pilkada masih di nilai keliru oleh Yusril Ihzamahendra guru besar fakultas hukum UI.kekeliruan itu tidak hanya dalam konteks logika hukum tata negara,tetapi juga dalam tatanan logika bahasa di dalam frem etimologi bahasa calon independen bermakna calon mandiri :seseorang secara pribadi dengan tidak harus mendapat dukungan dari siapapun dia dapat mencalonkan diri. Sementara calon independen dalam persepsi MK adalah seseorang yang masih bersyarat ,masih memerlukan dukungan dari pihak lain misalnya sejumlah rakyat atau lebaga non partai. Oleh karena itu mengacu pada logika bahasa tapatnya yang di putuskan oleh MK bukanlah calon independen tetapi calon non-partai dan itu justru akan mempersulit calon independent itu sendiri.
Dengan persepsi calon independen Oleh MK adalah seseorang yang masih bersyarat dan masih memerlukan dukungan pihak lain menyebabkan untuk menjadi calon independen dalam pilkada menjadi berat untuk di penuhi oleh mereka yang mungkin memiliki kopetensi sebagai kepala daerah tetapi ia tidak mampu memenuhi syarat tersebut. hal tersebut membuat demokratisasi dalam pilkada akan semakin sulit apabila kita menerapkan calon independen. Syarat untuk menjadi calon independen agar bisa mencalonkan diri dalam pilkada seperti yang disyaratkan kepada partai politik adalah 15% hal tersebut di nilai oleh partai politik adalah syarat yang pantas seperti yang di atur dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang pemda pada pasal 59 ayat (2) . hal tersebut akan memperberat langkah calon independen dalam mengikuti pilkada berbeda dengan halnya partai politik yang memiliki “motor politik” (alat pengerak masa) yang berupa kader pada suatu daerah pemilihan,sedangkan calon independen tidak memiliki hal yang sama.
Sehingga calon independen agar mendapat dukungan sebesar 15% seperti yang di syaratkan dalam pasal 59 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004 pasti membutuhkan dana yang cukup besar karena bukan menjadi rahasia publik bahwa pesta demokrasi di Indonesia ti terlepas dari “ money politik”( politik uang) untuk menarik masa .di takutkan yang dapat memenuhi syarat 15% adalah calon independen yang berlatar belakang sebagai pengusaha atau mereka yang di sokong oleh para pengusaha ( kapitalis).jika itu yang terjadi maka yang tercipta dalam pemilihan kepala daerah bukanlah system demokrasi seperti yang di impikan rakyat tetapi yang tercipta adalah sistem oligarchie(kekuasan di pegang oleh para kapitalis) seperti yang kita ketahui bahwa kebijakan yang di buat oleh para kapitalis hanyalah selalu didasarkan pada provid oriented atau keutungan belaka terhadap dirinya maupun kepada golonganya,tentunya kebijakanya tidak bersifat populis ( pro rakyat). Justu kebijakanya akan semakin menambah beban rakyat. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengembalikan dana yang telah mereka keluarkan untuk mencari konstituennya untuk dapat memenuhi syarat 15% untuk dapat mengikuti pilkada.
Menurut sekjen partai PDIP Pramono Anum calon independen harus memenuhi persyaratan 15% dalam hal kalau ingin mengikuti pilkada dan tidak mungkin 3% seperti yang di minta oleh mereka yang ingin menjadi calon independen.seperti calon independen dalam pilkada Aceh. Karena untuk masalah pilkada Acaeh adalah berbeda kondisi karena syarat itu diusulkan dalam rangkan mempertahnkan negara kesatauan Republik Indonesia dan pilkada Aceh tunduk pada UU 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus provinsi aceh. dalam sebuah sarasehan yang di adakan di gedung pola komplek monument proklamasi Jakarta Budiman soedjatmiko sebagai pembicara menanggapi akan fenomena adanya calon independen dalam pilkada.menurut Budiman soedjatmiko seharusnya di adakan revisi terhadap UU No.32 tahun 2004 tentang pemda mengenai persyaratan partai politik terhadap calon yang akan mereka calonkan menjadi kepala daerah haruslah bersifat objektif bukan subjektif seprti sekarang yang menyebankan adanya politik uang dalam menentukan siapa calon kepala daerah oleh oknum dalam partai politik. Di bandingkan harus melakukan judicial review terhadap UUNo.32 tahun 2004 tentang pemda karena menurut ia apabila mengamati calon independen yang merebak saat ini adalah mereka yang gagal menjadi anggota DPRD pada pemilu 2004dan mereka yang gagal dalam konvensi yang di adakan oleh parpol.budiman menyebutkan salah satu nama yaitu Sarwono Kusumatmaja yang gagal menjadi calon Gubernur dari golkar dalam pilkada jakarta yang kemudian mendelarasikan diri sebagai calon independen.
Beberapa kalangan partai politik menanggapi dingin dengan adanya calon independen. Mereka menilai hal tersebut akan merusak system yang telah mapan.mereka menuduh pemunculan calon independen adalah kelompok-kelompok anti parpol dalam masyarakat, mereka juga berpendapat sikap anti-partai dinilai membahayakan karena dapat berkembang kea rah pembubaran partai politik dan kalau hal tersebut terjadi maka Indonesia akan kenbali ke system otoriter karena menurut mereka partai politik merupakan ciri dari negara demokrasi.apabila hal itu terjadi maka sejarah akan terulang kembali seperti pada saat terjadi transisi dari system demokrasi parlementer ke demokrasi terpimpin(Guided demokrasi) di era presiden soekarno akan terulang kembali.menurut mereka ada yang tidak di punyai oleh calon independen seperti apa yang dimiliki oleh partai politik seperti:sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat,alat control bagi pemerintahan agar kebijakanya sesuai dengan keinginan rakyat. Seharusnya UU No 32 tahun 2004 tidak perlu di judicial review karena persyaratan 15% pada pasal 59(2) untuk dapat mencalonkan kepala daerah di dapatkan dari hasil pemilu yang mereka nilai cukup jujur dan adil pada tahun 2004dan itu merupakan gambaran suara rakyat terhadap partai politik tersebut.
Tetapi kenyataan partai politik di Indonesia lebih berwatak oligarchie terlalu banyak berurusan dengan konspirasi elit dan terpisah dari konstituenya. sebenarnya fungi parpol di negara demokrasi merupakan alat bagi masyarakat untuk menyampaikan tuntutan,artikulasi kepentingan dan mengakomodir aspirasi rakyat.seandainya parpol di Indonesia seperti iti maka tidak di perlukan lagi calon independen karena syarat calon independen untuk mencalonkan diri dalam pilkada di rasakan sangat berat sehingga mereka yang dapat menjadi calon independen hanyalah mereka yang mempunyai uang untuk mengordinir massa untuk memenuhi syarat 15% karena bukan rahasia publik lagi politik di Indonesia selain di warnai oleh politik pencitraan diri oleh para elit juga di warnai oleh politik “money politik” sehinga yang tercipta adalah bukan sistem demokrasi tetapi oligarchie dalam pilkada baik dengan menggunakan wadah partai politik maupun dengan calon independen.




BAB III
PENUTUP


KESIMPULAN

Mekanisme calon Independen dalam pemilihan kepala daerah yang lahir akibat adanya putusan Mahkamah Konstitusi No.5/puu-v/2007 belum dapat di jadikan jawaban untuk terciptanya sistem demokrasi dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia .justru dengan syarat yang berat malah akan mendekati system oligarchie di bandingkan system demokrasi.maka apa bedanya antara calon independen dengan partai politik yang selama ini terjadi di Indonesia.
Di lain hal rakyat Indonesia berdasarkan hasil survey lebaga survey pemerintah maupun lembaga survey independen menunjukan sebagian besar rakyat Indonesia kurang setuju dengan adanya calon independen dalam pemilihan kepala daerah .dalam negara demokrasi seperti Indonesia apabila sebagian besar suara rakyat tidak mendukung adanya suatu mekanisme buat apa mekanisme tersebut di perjuangkan.sedangkan partai politik di dukung oleh suara rakyat yang di berikan rakyat dalam pemilu DPRD untuk memenuhi persyaratan untuk dapat mencalonkan calonya di dalam pilkada.tetapi yang menjadi masalah adalah partai politik di Indonesia lebih berwatak oligarchi dan terlalu banyak berurusan dengan elit dan terpisah dari konstituenya hal tersebut sangat anti tesis dengan fungsi partai politik di negara demokrasi . jadi baik partai politik maupun calon independen tidak dapat membawa system pemilihan kepala daerah di Indonesia menjadi lebih demokratis .jika tidak terjadi perbaikan dalam mekanisme dan syarat berpolitik di Indonesia.

Tidak ada komentar: