Kamis, 17 September 2009

makalah hukum pres

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar belakang masalah

Setiap negara memiliki sistem persnya sendiri-sendiri dikarenakan perbedaan dalam tujuan, fungsi, dan latar belakang sosial politik yang menyertainya. Akibatnya berbeda dalam tujuan ,fungsi, dan latar belakang munculnya pers dan tentunya pula berbeda dalam mengakulturasikannya. Nilai, filsafat hidup dan ideologi suatu negara juga telah berperan besar dalam mempengaruhi sebuah pers.ini juga berarti bahwa sistem yang dikembangkan berbeda termasuk di dalamnya sistem persnya. Erat kaitannya dengan itu, pola hubungan segi tiga antara pemerintah, pers dan masyarakat juga berbeda.
Fred siebert, Wilbur schramm dan Theodore Peterson dalam bukunya four theories of the press (1963) mengamati setidak-tidaknya ada empat kelompok besar teori (sistem) pers yakni sistem pers otoriter (authoritarian) ,sistem pers liberal (libertarian) ,sistem pers komunis (Marxist) dan sistem per -tanggung jawab masyarakat (social responsibility).
Teori atau sistem pers otoriter dikenal sebagai sistem tertua, yang lahir sekitar abad 15-16 pada masa pemerintahan absolute.pers dalam sistem ini berfungsi sebagai penunjang negara untuk memajukan rakyat.pemerintah menguasai sekaligus mengawasi media.berbagai kejadian yang akan di berikan dikontrol pemerintah karena kekuasan sangat mutlak.negara adalah pusat kegiatan. Oleh karena itu,individu tidak penting adalah negara sebagai tujuan akhir individu.pemerintahan musolini dan adolf hitler adalah dua penguasa yang mewarisi sistem pers otoriter
Sistem pers liberal (libertarian) berkembang pada abad 17-18 sebagai akibat munculnya revolusi industri dan adanya tuntutan kebebasan pemikiran di negara barat yang sering disebut aufklarung (pencerahan). Esensi dasar sistem ini memandang manusia mempunyai hak asai dan meyakini bahwa manusia akan bisa mengembangkan pemikiranya secara baik jika di beri kebebasan.manusia di lahirkan menjadi mahluk bebas yang dikendalikan akal dan bisa mengatur sekelilingnya untuk tujuan yang mulia.kebebasan adalah hal yang utama dalam mewujudkan esensi dasar itu, sedangkan kontrol pemerintah dipandang sebagai manifestasi kebebasan “pemerkosan” kebebasan berpikir. Oleh karena itu pers harus di beri tempat yang sebebas-bebasnya untuk mencari kebenaran. Kebenaran akan di peroleh jika pers di beri kebebasan sehingga kebebasan pers menjadi tolak ukur dihormatinya hak bebas yang dimiliki manusia.
Sistem pers komunis (juga sering disebut sistem pers “totaliter soviet atau “pers komunis soviet) berkembang karena munculnya negara komunis uni soviet pada abad 20. Sistem ini di pengaruhi pemikiran marx tentang perubahan sosial yang di awali oleh dialektika Hegel. Pers dalam sistem ini merupakan alat pemerintah atau partai dan menjadi bagian integral negara .pers menjadi alat atau organ partai yang berkuasa( partai komunis uni soviet/PKUS). Dengan demikian segala sesuatu di tentukan oleh negara (partai). Kritik diizinkan sejauh tidak bertentangan dengan ideologi partai yang ditentukan oleh pemimpin partai PKUS.
Sistem pers tanggung jawab sosial (social responsibility) muncul pada abad ke 20 pula sebagai protes terhadap kebebasan mutlak dari liberal yang mengakibatkan kemerosotan moral masyarakat. Dasar pemikiran sistem ini adalah sebebas-bebasnya pers harus bisa bertanggung jawab kepada masyarakat tentang apa yang di aktualisasikan. Menurut Peterson kebebasan pers harus di ikuti kewajiban untuk bertanggung jawab kepada masyarakat guna melaksanakan tugas pokok yang dibebankan kepada masyarakat modern selama ini.sistem ini lebih menekankan pada kepentingan umum di banding kepentingan pribadi.
Melihat dari uraian tentang empat teori pers tersebut di atas di manakah posisi sistem pers Indonesia sebelum reformasi (orde baru) dan sesudah reformasi atau setelah adanya UU NO.40 tahun 1999 tentang pers.


B. Perumusan masalah
Dari latar belakang di atas dapat di buat perumusan masalah sebagai berikut ini : sistem pers apakah yang dianut oleh Indonesia pada masa orde- baru dan sesudah reformasi dengan adanya undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers?





BAB II
PEMBAHASAN


A. Sistem pers masa orde baru
Pada masa orde baru pers kita menyandang pelbagai atribut yang menyebabkannya sering terpojok dalam posisi dilematis. Di satu sisi tuntutan masyarakat mengharuskanya memotret realitas sosial sehingga pers berfungsi sebagai alat kontrol.pada posisi lain pers berfungsi sebagai institusi yang tidak lepas dari pemerintah.ini artinya pers mau tidak mau harus mematuhi mekanisme yang menjadi otoritas pemerintah .memnyebabkan pers cenderung tidak vis a vis terhadap pemerintah.kenyatan ini membuat pers kita sulit menentukan pilihan antara kewajiban moral terhadap masyarakat dan keharusan untuk mematuhi aturan pemerintah sebagai konsekuensi logis.
Bagaimanapun juga pers masih mempunyai otonomi,salah satunya kemampuan untuk bertahan hidup ditengah derasnya iklim demokrasi dan himpitan struktur yang harus ditaati. Dalam posisi demikian pers masih bisa berkata dengan posisi sesulit begini,bisa bernafas pun bagi pers masih tetap lumayan. Ini menunjukkan betapa sulit kedudukan pers pada masa orba,meskipun boleh di bilang masih memiliki otonomi relative.
Indikasi masih adanya otonomi relative adalah bermacam peringatan dari pemerintah terhadap pers. Jika dicermati berbagai peringatan pemerintah orde baru tersebut justru muncul karena kepedulian pers pada kepentingan masyarakat. Ini artinya pers yang mendapat peringatan pemerintah sama saja pers mempunyai otonomi, sebab pers berani menentukan pilihannya untuk berpihak pada masyarakat.
Pembatalan tiga penerbit sekaligus pada 21 juni1994 (tempo,editor,detik) salah satu di picu oleh semangat pers untuk memelihara otonominya meskipun akhirnya terbentur keperkasaan negara. Tidak bisa dipungkiri dominasi pemerintah pernah sangat kuat dalam kehidupan pers pada rezim orde baru. Hukum di jadikan alat legitimasi pemerintah orba untuk mengawasi pers. Kita bisa lihat misalnya surat izin penerbitan pers (SIUPP).jelas bahwa UU pokok pers pernah mengatur dan menjamin penerbitan,namun justru SIUPP (permenpen No.01/per/menpen 1984) menjadikan alat membatasi kebebasan. Aneh lagi SIUPP yang kedudukan hukumnya lebih rendah dibandingkan undang-undang justru menjadi alat legitimasi.
Aturan SIUPP yang mengatur pembatalann ada pada pasal 33. Dalam pasl 33 ayat (h) di sebutkan menurut penilaian dewan pers sebagai mana di maksud dalam pasal 9 peraturan ini, perusahan /penerbitan pers dan penerbit pers yang bersangkutan dalam penyelenggaran penerbitannya tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, bebas dan bertanggung jawab.
Selama pemberlakuan SIUPP departemen penerangan selalu mengambil langkah paling depan dalam “menerbitkan” pers .bahkan secara sepihak di putuskan secara like and dislike(suka tidak suka). Apalagi tingkah laku tersebut di legitimasi karena sudah mendapat persetujuan dewan pers (DP). Padahal seperti diketahui dewan pers di jabat mentri penerangan apakah ketua dewan pers menasehati mentri penerangan ? bisa jadi artinya pemutusan pembatalan SIUPP hanya atas inisiatif mentri penerangan.
Menurut ahli hukum pers Oemar seno aji menegaskan SIUPP tidakdapat di gunakan sebaga suatu sarana untuk menjatuhkan pembredelan terhadap pers. SIUPP berlainan dengan SIT(surat ijin terbit). Bahkan secara formal maupun substansial, SIUPP bukankah alternative ataupun pengganti SIT.SIUPP merupakan alat ekonomis yang tidak boleh berhubungan dengan kebebasan untuk menyatan pendapat atau pemikiran melaui pers.
Oemar seno aji menyatakan pers bebas dan betanggung jawab yang dianut di Indonesia secara yuridis menegaskan adanya larangan prevensi dari pemerintah.yang berupa larangan sensor, larangan pembredelan dan tak perlu adanya SIT. Inti pers terletak pada ke tiga hal itu tadi.SIUPPmempunyai lapangan yang berlainan dengan SIT dan tak dapat digunakan untuk menjatuhkan pembredelan terhadap pers.SIUPP mestinya dicabut hanya mengenai perusahannya,bukan di dasarkan atas materi atau isi dari media massa.
Secar yuridis sitem pers pada masa orde baru menganut sistem pers bebas dan bertanggung jawab yuridis tetapi dalam peksanaanya sistem per yang di terapkan oleh orde baru justru mendekati sitem pers pers ototiter di mana negara dalm hal ini mentri penerangan sebagai kepanjangan tangan pemerintah di berikan kekuasan secara mutlak untul melakukan pengawasan terhadap pers .melaui SIUPP menti penerangan yang menjabat juga sebagai ketua dewan pers dapat mencacut izin suatu perusahan pers yang di anggap berseberangan dengan pemerintah. hal ini yang di alami oleh Tempo, Editor,dan Detik yang dibredel oleh pemerintah karena telah memberitakan mengenai pembelian kapal perang dari jerman timur yang di lakukan oleh B.J Habibi yang waktu itu menjabat sebagai mentri riset dan teknologi pada rezim orde baru .
B. Sistem pers sesudah reformasi
Reformasi yang terjadi di Indonesia di nilai sebagai tonggak awal kebebasan pers di Indonesia.karena sebelum terjadi reformasi kebebasan pers sangat di batasi dengan adanya camputangan pemerintah.kebebasan pers di masa reformasi pertama ,di tandai dengan penghapusan SIUPP oleh pemerintahan presiden Habibie. Pemerintah menganggap SIUPP sudah tidak zamanya lagi dan sangat”memperkosa HAM”.lewat mentri Yunus Yosfiah SIUPP di cabut. Dengan demikian pengurusan untuk mendirikan perusahan pers tidak lagi bertele –tele melewati birokrasi yang sangat rumit belum lagi kalau ada konsensi pada pemerintah.kedua,di terbitkanya undang-undang nomor 40 tahun 1999.undang-undang pers tersebut memberikan kemerdekan kepada pers nasional dalam melakukan pemberitaan.
UU No.40 tahun 1999 tentang pers memberikan jaminan bahwa untuk pers nasional tidak dikenakan penyensoran,pembredelan atau pelarangan penyiaran pada pasal 4 ayat (2). Ketiga hal tersebut yang selama masa orde baru selalu menjadi penghalang bagi pers dalam melakukan pemberitaan. Selain itu untuk menjamin kemerdekan pers ,pers nasional mempunyai hak mencari,memperluas dan menyebar luaskan gagasan dan informasi pada pasal 4 ayat (3). Kemerdekan pers nasional tersebut di lindungi oleh ketentuan pidan pada pasal 18 UU No.40 tahun 1999 tentang pers pada ayat (1) berbunyi :setiap orang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindak pidana yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanan ketentuan pasal 4 ayat(2) dan ayat(3) di pidana dengan pidana penjara 2 tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000.00( lima ratus juta rupiah).
Ketiga, kebebasan pers ditandai dengan menghapus departemen penerangan.secara structural lembaga SIUPP memang sudah tidak ada lagi namun bayangan adanya otoritarianisme terhadap pers masih terbuka di depan mata. Kekhawatiran tersebut beralasan sebab Deppen lembaga yang disponsori pemerintah sebagai “kepanjangan tangan “ pemrintah bisa akan “mengeluarkan taringnya” sewaktu-waktu ketika angin kebebasan yang di hembuskan tidak berpihak lagi kepadanya.
Realita sosial bahwa selama ini peringatan sampai pembatalan SIUPP pers ada hubunganya dengan lembaga tersebut, selama pemberlakuan SIUPP Deppen selalu mengambil langkah paling depan dalam “menertibkan” pers. Bahkan secara sepihak si putuskan secara like dislike (suka tidak suka).
Oleh karena itu inisiatif pemerintahan Gus Dur untuk menghapus Deppen patut di sambut dengan gembira.jika kita tinjau alasan yang mendasari pembubaran ini bisa di kemukakan sebagai berikut:pertama,kebebasan pers meskipun SIUPP sudah di hapusakan akan sulit terwujud kalau pemerintah terus ikut campur tangan dalam dunia pers.urusan pers harus di serahkan pada media yang bersangkutan. Mereka lebih tahu apa yang harus di lakuakan dan apa yang tidak harus di lakukan. Ini juga sesuai dengan fakta sejarah bahwa Deppen lebih merupakan representasi penguasa di banding sebagai lembaga independen yang bertugas sebagai fasilitator informasi pemerintah-masyarakat.
Kedua sebagai test case pada kalangan pers.selama ini yang getol memperjuangkan diwujudkanya kebebasan pers adalah kalangan pers sendiri. Jika kebebasan pers sudah di berikan namun pers tidak tidak bisa menjaganya,maka penegakan kebebasn pers selama ini sebenarnya faktor-faktornya adalah pers ,bukan pemerintah.toh kebebasan yang di berikan tidak bisa di jaganya.
Ketiga, menghindari keputusan politis dan perlunya penegakan hukum. Jika per memang pers bermasalah dengan kebebasan persnya, maka segala sesuatu yang berkaitan erat dengan kasus itu sudah selayaknya diproses didepan hukum. Sebab selama ini yang berkembang pada masa orde baru justru sebaliknya. Deppen selalu mengambil keputusan politis (tanpa peringatan terlebih dahulu sepihak, tidak adil) terhadap pers. Bahkan cleaning service yang bekerja pada suatu penerbitan dan tidak tahu apa-apa soal penerbitan akhirnya terkena dampak negatifnya. Ia kehilangan pekerjaan karena kesalahan wartawan. Dengan kata lain kesalahan oleh seseorang dalam sebuah organisasi bukan dengan mengadili wartawan yang bersangkutan, namun organisasinyalah yang dibubarkan. Ide penghapusan deppen sebagai langkah positif untuk menghindari kesalahan serupa. Oleh karena itu melalui keputusan presiden no. 153/1999 dibentuklah badan informasi dan komunikasi nasional.
Sistem pers Indonesia setelah reformasi dengan adanya UU. No. 40 Tahun 1999 tentang pers menganut sistem pers tanggung jawab sosial (social responsibility). Dasar pemikiran dari sistem ini adalah sebebas-bebasnya pers harus bisa bertanggung jawab kepada masyarakat. Seperti yang terdapat dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1). Yang dimaksud dengan “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara” adalah bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau pengekangan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai dengan kesadaran akan pentingnya supermasi hukum yang dilakasanakan oeh pengadilan dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam kode etik jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers. Penjelasan Pasal 6 pers nasional mempunyai peranan penting dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan menegembangkan pendapat umum dengan menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar. Hal ini akan mendorong ditegakkannya keadilan dan kebenaran, serta diwujudkannya supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang tertib.
Namun masa eforia kebebasan pers juga tidak menyelesaikan persoalan. Hubungannya dengan pemberitaan yang berkembang kemudian trial by the press (pengadilan oleh pers). Dengan kata lain pers kita cenderung “mengadili” seseorang bersalah sebelum munculnya keputusan pengadilan. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa kasus contohnya pemberitaan yang berkisar pada mantan presiden soeharto yang masuk dalam kategori ini.
Penekanan pada tanggung jawab sosial dianggap penting untuk menghindari kemungkinan terganggunya ketertiban umum. Kebebasan pers harus disertai kewajiban untuk bertanggungjawab pada masyarakat guna melaksanakan tugas pokok yang dibebankan kepada komunikas masa dalam masyarakat moderen selama ini.

BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Pers pada masa orde baru menyandang beberapa atribut yang menyebabkan sering terpojok dalam yang dilematis. Disatu sisi tuntutan masyarakat mengharuskannya memotret realita sosial sehingga pers berfungsi sebagai alat kontrol. Pada posisi lain sebagai institusi yang tidak lepas dari pemerintah pers cenderung tidak vis a vis terhadap pemerintah. Ini artinya pers mau tidak mau harus mematuhi mekanisme yang menjadi otoritas pemerintah. Kenyataan ini menjadikan pers sulit menentukan pilihan antara kewajiban moral terhadap mesyarakat dan keharusan untuk mematuhi aturan pemerintah sebagi konsekuensi logis. Pada masa orde baru menteri penerangan memiliki kewenangan yang sangat besar dalan hal pembatalan penerbitan atau yang lebih dikenal dengan pencabutan SIUPP. Menteri penerangan selain sebagai kepala departemen penerangan, ia juga berposisi sebagai ketua dewan pers sehingga pemutusan pembatalan SIUPP hanya atas inisiatif menpen berdasarkan kriteria like and dislike (suka tidak suka) terhadap suatu media. Sistem pers pada masa orde baru sebenarnya menganut sistem pers tanggung jawab yuridis tetapi kenyataannya melihat besarnya kekuasaan menteri penerangan sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam bidang pers, sistem pers orde baru lebih condong kesistem pers otoriter.
Pada masa reformasi setelah adanya UU. No. 40 Tahun 1999 tentang pers sistem pers yang dianut Indonesia adalah sistem pers tanggung jawab masyarakat. Dimana sistem ini pers walaupun sebebas-bebasnya harus bisa bertanggung jawab kepada masyarakat tentang apa yang diaktualisasikannya. Seperti yang ada dalam penjelasan Pasal 4 kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai dengan kesadaran akan pentingnya supermasi hukum yang dilakasanakan oleh pengadilan dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam kode etik jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers dan didalam penjelasan Pasal 6 pers nasional mempunyai peranan penting dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan menegembangkan pendapat umum dengan menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar. Hal ini akan mendorong ditegakkannya keadilan dan kebenaran, serta diwujudkannya supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang tertib.
B. Saran
Pers dalam negara demokrasi merupakan bagian dari 4 pilar demokrasi selain eksekutif, legislative dan yudikatif tetapi tidak dimungkinkan pilar tersebut bisa rapuh. Oleh karena itu kebebasan pers yang telah diberikan haruslah tetap dengan tanggung jawab dari para insan pers jangan sampai kebebasan itu dijadikan senjata oleh pers untuk kepentingan pers sepihak seperti melakukan trial by press (pengadilan oleh pers) terhadap seseorang yang bersalah tetapi belum ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan kebebasan pers tersebut jangan dijadikan alat komoditas bisnis dalam melakukan pemberitaan oleh pers.

Tidak ada komentar: